Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Lelaki Pemikat Punai (12)

5 Januari 2021   05:21 Diperbarui: 5 Januari 2021   05:46 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Motor Yamaha RX-S berwarna hijau tua milik Sersan Rustam belum tampak diparkiran motor depan kantor polisi. Kelihatannya ia belum kembali ke kantor dari desa Sambong Menurut berita dari radio komunikasi ,Romo yang menyuruhnya kesana.

Siapakah Romo yang sesungguhnya? Mengapa sersan Rustam menghindar ketika aku berbicara tentang itu di kantornya?  Apa mungkin aku harus mencurigai Kapolsek atau mencoba untuk mendengar bagaimana suranya ketika berbicara? Entahlah? biar besok saja aku tanyakan pada sersan Rustam sesuai dengan janjinya yang akan datang ke rumah untuk menjelaskan perkembangan penyelidikannya.

"Aku akan menjelaskan hasil perkembangan penyelidikan kami padamu, Mas Fatur. Kamu ini kelak akan jadi orang pintar di Jakarta. Kami tak ingin dengan pergaulan dan status mahasiswamu di Jakarta bisa membawa kasus ini menjadi kasus yang besar yang diketahui nasional. Nanti kami yang repot. Disamping itu aku juga mengenal baik bapakmu," begitu janji sersan Rustam beberapa hari lalu ketika ia menemani pasukan anjing pelacak melintasi kebun kami.

Kukayuh sepeda kelabu menjauhi kantor polisi. Angin musim kering melintas mengoyak rambut. Debu bercampur sampah-sampah pembungkus permen mengambang dan mengalir ke tepian jalan seperti ada kehadiran petugas pembersih alami yang tengah menyingkirkan sampah-sampah jalanan.

Selepas siang begini, budaya tidur siang masih dijalankan orang-orang ditempat kami. Para amtenaar dan priyayi yang mengelola hutan mendapatkan warisan pola kerja belanda yang memberikan keleluasaan untuk melakukan tidur siang barang sejenak meskipun sudah memasuki masa penghujung dekade tahun delapan puluhan. Jalanan diisi satu dua pedagang yang baru kembali dari pasar-pasar kecil sekitar atau dari pasar-pasar kota terdekat.

Dipertigaan, telingaku sayup menangkap suara bandul sapi yang terdengar tak beraturan. Datangnya dari arah selatan kantor polisi. Aku berkesimpulan suara itu datang dari sepeda lelaki yang menghardik Niken di kantor polisi tadi.

Masih belum terlalu jauh pikirku. Semula aku abai dengan suara itu tetapi mendadak bayangan senyum Niken menggugah kesadaranku. Aku harus mengikuti mereka! Siapa tahu Niken dalam bahaya?

Kukayuh sepeda membelok kekiri kearah selatan. Seekor ayam berekor merah melesat terbang karena keterkejutannya, setelahnya ia berkotek ramai seolah bersungut-sungut padaku.

Jalan bergelombang kuhadapi dan itu bukan hal yang sulit bagi si kelabu. Aku memang sedikit mungkin memasang aksessories pada sepedaku itu karena tak ingin banyak suara yang timbul selama perjalanan lagi pula tak ingin orang lain tertarik memiliki sepeda itu lalu mencurinya ketika aku lengah.

Si kelabu melesat tanpa suara. Ia adalah sepeda angin yang sesungguhnya. Berkejaran dengan angin yang membawa debu-debu   dikiri kanan jalan dengan sunyi.

Rumah terakhir di tepi kecamatan aku lalui sementara suara dentang bandul sapi kian terdengar jelas. Hutan jati yang membatasi hampir setiap desa sebentar lagi akan terlihat dan tak lama aku dapat melihat kedua punggung mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun