Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tangis - Catatan Tepi

26 Agustus 2020   22:58 Diperbarui: 26 Agustus 2020   23:02 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tak banyak yang saya ingat ketika masa pertama masuk sekolah dasar. Ibu Kartini dan Ibu Wartini mengajarkan bergantian kepada kami ejaan-ejaan baru sebagai awal pengenalan huruf dan kata.

Meri semakin membesar  sedang telur bebek pemberian penggembala telah hancur berkeping-keping di suatu hari, membasahi tubuh Meri dengan bau yang menyengat.

Telur itu tak menghasilkan apa-apa dan hancur membusuk oleh kepakan sayap Meri didalam kandang yang semakin mengecil karena tubuhnya yang makin membesar.

Saya kecewa, tetapi ibu mencoba memberi pemahaman bahwa sebutir telur harus dierami oleh induknya untuk menjadi seekor bebek kecil.

Malam purnama adalah malam yang selalu saya tunggu. Duduk memandang langit di beranda belakang selepas  Isya dan terkadang memanjat sendiri ke tepi atap seng untuk lebih melihat keindahan langit adalah kebiasaan sejak pindah kerumah baru. Duduk tengah malam di tepi atap seng bukanlah hal yang menakutkan.

Diatas sana ditengah malam sunyi saya kerap mendengar isak tangis, suara seorang perempuan berdoa dalam sujudnya. Kali pertama mendengar itu  saya meluncur kebawah mencoba mencari tahu dan menghampiri sudut kamar belakang tempat asal suara dan saya dapati ibu tengah bersujud dengan isak tangis yang perlahan namun cukup terdengar dimalam sunyi.

Rutinitas ibu dimalam hari selalu berulang. Bangun tengah malam ketika saya belum lagi tertidur, ia bersimpuh disajadah hijaunya menangis dan setelahnya beranjak ke dapur untuk menyiapkan daun pisang serta nasi aron untuk ia buat lontong yang paginya dititipkan dibeberapa sekolah di sekitar rumah.  

 "Kenapa ibu menangis? apakah ia mengalami kesulitan sedemikian berat sehingga harus mengucurkan air mata?" saya tak berani menanyakannya kepada ibu. Ibu adalah sosok yang tenang, ia tak pernah sekalipun berselisih dengan tetangga dimanapun berada. Ia memilih mengalah dan mendengar orang lain daripada memperselisihkan segala sesuatu, demikian juga kepada bapak.

Tangisannya tengah malam yang kerap ia lakukan mengusik saya sehingga mempengaruhi diri saya.  Sebagai anak seorang tentara saya tak memiliki ketakutan pada hantu apalagi gelapnya malam namun semenjak itu saya mudah menangis diawal  bila menghadapi sesuatu.

Saya dikenal anak kecil yang cengeng, namun setelah menangis  saya tak pernah mundur sejengkalpun pada apa yang saya yakini. Saya mudah tersentuh pada sesuatu yang tak adil dengan menangis atau mengeluarkan air mata karena menurut saya ibu juga melakukannya ditengah malam untuk menghadapi persoalannya.

"Kenapa kamu cengeng sekali sih?" tanya ibu suatu hari ketika saya menangis karena berselisih dengan kakak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun