Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pena Hati di Bawah Purnama

5 Agustus 2020   12:43 Diperbarui: 5 Agustus 2020   12:45 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

CATATAN TEPI - PENA HATI DIBAWAH PURNAMA

Semua perabotan telah terikat. Satu demi satu dikumpulkan diruang tengah agar mudah diangkat. Dua hari lagi kami akan berpindah rumah  ketempat yang bapak belum menceritakannya  kepada kami.

"Kita akan pindah ke rumah dinas, ibu sudah lihat  kesana, tempat baru, rumah baru, di atas tanah yang masih merah!" hanya itu yang ibu beri tahu pada kami.

Dua hari menjelang kepindahan kami, saya sering termenung di pinggir-pinggir empang belakang rumah, mendengarkan suara nyanyian bebek petelur yang dilepas pemiliknya. Suara 'gusah' penggembala terdengar nyaring saat ribuan bebek ada yang keluar dari kumpulannya.  Bebek-bebek itu sibuk makan diladang basah dan beberapa ekor meninggalkan telurnya ditengah kerumunan. Satu dua orang mendekati bebek-bebek itu untuk mengambil telur yang tergeletak begitu saja.

"Bang..boleh saya minta telurnya satu saja?" pinta saya kepada penggembala

"Untuk apa?"

"Besok hari terakhir saya dikampung ini, bapak mengajak pindah ke tempat lain," sahut saya dan telur yang masih hangatpun berpindah dari keranjang ke tangan saya.

Dipagi hari saatnya kepindahan  tiba  beberapa penduduk kampung menaikan barang dan perabotan keatas truk hijau yang besar beratap terpal. Truk buatan Rusia menggerung mengepulkan asap dari knalpotnya yang berada di atas kap pengemudi. Ada rasa sedih ketika meninggalkan rumah lama kami sehingga pelukan dari tetangga yang tak sempat ikut mengantar ke tempat baru menyisakan tangis pada Ibu dan mereka yang merasa kehilangan.

"Jaga anak-anak dan keluarga ya mbakyu!" hanya itu yang teringat pesan dari Bu Poniman  pada Ibu yang tubuhnya terguncang oleh isak tangis. Truk bergerak menuju jalan raya dan kami tak bisa melihat apa apa karena truk tertutup terpal hijau disisi kiri dan kanan. Hanya pandangan ke belakang yang nampak meninggalkan sinema hidup jarak demi jarak hingga membuat kampung Kebantenan menjadi semakin mengecil dari Pandangan.

Truk tiba di tempat bernama Cilandak. Barisan rumah yang baru dibangun  berjajar rapi dan sebagian calon penghuninya belum lagi tiba. Kami satu demi satu turun untuk menggiring truk berjalan mundur ke depan rumah bernomor tiga puluh lima dan berhenti pada rumah berdinding batako putih yang berdiri diatas tanah seratus lima puluhan meter persegi .

Saya berlari kebelakang rumah, menemui batas tembok dan tak menjumpai  empang, kolam, ladang atau apapun. Hanya tanah kosong beranda belakang yang berbatasan dengan rumah lain. Dipojok tanah berdiri kokoh pohon pinang dan jambu batu yang tak sempat ditebang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun