Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Larut

25 Maret 2020   07:29 Diperbarui: 25 Maret 2020   09:04 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam sangat pekat. Lolong anjing membahana meretas sunyi, suaranya bak sayatan pisau yang merobek hari-hari sepi yang dipenuhi syak-wasangka karena 'Pagebluk' tengah melanda. Ketukan besi beradu dengan gembok besar digerbang rumah sudah tujuh kali berdentam memainkan irama kecemasan. 

"Pak dokter...selamat malam pak dokter!" suara bagai engsel pintu tak berpelumas terus memanggil berulang kali. "Aku buka ya bu...kasihan mungkin pasienku tengah butuh pertolongan," rayunya pada istri. 

"Tidak Pa, bukankah sudah tertulis besar ditembok gerbang bahwa kamu tidak menerima pasien sampai waktu yang tidak ditentukan! Kamu sudah begitu banyak menolong orang saatnya kamu menjaga dirimu sendiri!" ketukan kedelapan terus meneror hati. Ia menuruni tepi ranjang yang membulat, mencoba melihat  dari jendela kamar. 

Silhouete hitam seorang lelaki dan perempuan terlihat  bergerak cemas nampak dalam kegelapan malam. Detak jam dinding terus mengalun sementara istrinya memandangi dalam wajah kecemasan. "Sudahlah, masih ada rumah sakit yang akan menolong mereka, bukan kamu seorang dokter di muka bumi ini. Kembalilah tidur, kamu sudah kurang tidur sejak wabah ini melanda. Setidaknya sayangilah aku dan anak-anakmu!" pinta istrinya perlahan.

Kantuknya luruh, dipandanginya dinding berisi sebelas kalimat sumpah yang tergantung dalam pigura berwarna emas. "Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan." Sumpah nomor satu ia baca perlahan. Dituruninya lantai dua kamar, pintu dibuka sementara suara cegahan istrinya membangunkan seisi rumah. 

"Papa ngapain..jangan terima pasien dirumah papa!" teriak Lastri anaknya yang tetiba terbangun dari tidurnya. Ia membuka pintu kamar praktik pavilion sebelah. Lembaran kain berisi sumpah 'Hippokrates' menyembul dari balik pintu, tepat diatas kursi kerja Dua manusia dari kegelapan ia persilahkan masuk, yang perempuan tengah bergulat dengan rasa sakit sambil memilin pergelangan tangan kanannya. 

Darah menetes dari sela sela kain bebat. "Ia telah kehilangan banyak darah dok..seseorang menyatroni rumah kami, entah tiba-tiba ayunan golok meluncur dari mereka yang panik lalu melarikan diri," dalam balutan masker yang menutup hidung dan mulut,tangannya merajut  jarum-jarum  mencoba menutup luka yang menganga. Malam itu ia menunaikan tugasnya.

"Papa memang kukenal keras kepala, dari dirinyalah begitu banyak pelajaran hidup yang kudapat. Tak ada waktu untuk dirinya yang lebih penting dari pasiennya. Sumpah kelulusannya dan sumpah Hippokrates selalu terpampang dimeja praktiknya. 

Malam itu ia lupa, ketika seseorang pengidap virus dihantam golok sang perampok, segala perlindungan dirinya pada ancaman wabah virus yang tengah melanda menjadi abai ketika memberi pertolongan. Tujuh malam lalu papa merasa sesak dan hari ini kami harus melepas kepergiannya. 

Kami menjadi saksi betapa engkau bercerita hari-kehari perjuanganmu membantu sesama manusia. Kepergianmu meyedihkan sekaligus membanggakan. "Salam cinta dari anakmu Lastri, Mama dan adik Rama." Lastri menutup sambutan akhir di pemakaman ayahnya, ibunya tak mampu mengeluarkan satu katapun. 

Serpihan tanah merah menumbur lembaran kayu makam, orang-orang yang menangis terhitung jari, semua berpakaian berwarna biru, tertutup. Lastri melihat berkeliling hanya segelintir orang mengantar ayahnya. Ketakutan akan wabah menghalangi keinginan sahabat-sahabat ayahnya untuk hadir ke peristirahatan terakhir sampai kelak mereka menyadari, seorang Pahlawan telah pergi.

-Aryadi Noersaid-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun