Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Catatan Tepi] Misteri Malam Kelam

25 Juli 2018   20:20 Diperbarui: 25 Juli 2018   20:22 500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore itu saya mencium persekongkolan. Bapak ibu tengah bersiap dengan baju yang tak biasanya mereka pakai. Sebagai anak balita yang ingin selalu diajak ikut serta saya menyelidik dan berharap mereka akan mengajak serta.

"Ibu nggak kemana-mana, cuma mau ke rumah bude Poniman nanti malam juga pulang lagi," sapa ibu ketika saya mulai bertanya mereka mau kemana dengan logat yang masih belum jelas. Saya mengingat peristiwa itu persis. Meskipun masih Balita, saya mencurigai bahwa ibu dan bapak pasti akan pergi ke satu tempat tetapi enggan mengajak saya yang ketika masih menjadi anak terkecil yang bisa diajak pergi sementara adik laki-laki saya masih berusia bayi.

Maghrib pun lewat sementara bapak dan ibu pamit pergi ke rumah bude Poniman yang berjarak dua puluh menit berjalan kaki dan harus menembus beberapa kebun yang kala itu masih amat lebat. Kami dirumah hanya diasuh oleh Mbak Partini, keponakan ibu yang tinggal dirumah kami.

Bulan makin tersorong kepuncak langit sementara saya tak mampu terpejam untuk tidur. Pertanyaan saya kala itu adalah mengapa bapak dan ibu tak mau mengajak saya kalau hanya kerumah bude Poniman saja. Kue-kue di tempat bude Poniman sangat saya rindukan dan selalu terhidang jika kami berkunjung kesana.

Mbak Partini meminta saya tidur ketika pukul sembilan malam tetapi hati saya berontak, saya mulai menunjukkan jurus tangis yang perlahan lalu meninggi. Saya malam itu juga meminta diantar ke rumah bude Poniman. Mbak Partini abai saja. Ia terus sibuk dengan setrika berkepala ayam dan menggilas pakaian dengan besi panas ditingkahi asap putih yang terus keluar dari benda besi hitam itu. Tiga puluh menit saya tak berhenti menangis sementara bibir mbak Partini mulai beringsut maju dengan tatapan yang mulai kesal.

"Sudah malam. Sebentar lagi juga nanti ibumu pulang!" jerit mbak Partini dengan nada yang kencang. Saya tak mau kalah dan meninggikan suara tangis, benar-benar balita yang keras kepala. 

Pada titik sepuluh menit kemudian sambil bersungut-sungut mbak Partini menyisihkan beberapa pakaian kedalam keranjang dan meletakkan setrika hitam legam kebawah meja. Ia mencengkeram kaus saya dan meletakkan tubuh saya yang kecil dibahunya lalu ia menutup pintu dan pergi menyusuri jalan gelap melewati kebun-kebun yang tertutup rindang pohon hitam pekat dibungkus malam. Mbak Partinipun tak tahu apakah ibu betul ke rumah bude Poniman atau ketempat lain.

Dengan terengah mbak Partini mengetuk pintu rumah bude Poniman dan dari dalam keluar sosok lelaki muda yang mengatakan bahwa pakde dan bude poniman pergi bersama bapak ke Senayan untuk menghadiri acara ulang tahun Angkatan Laut.

Mendengar itu saya menangis sejadi-jadinya karena merasa dibohongi lalu mbak Partini menepuk keras bokong saya berteriak meminta saya untuk berhenti menangis. Saya ingat cubitan mbak Partini amatlah menyakitkan, ia tak segan memutar dua jarinya yang menempel dikulit kami ketika mencubit lalu memelintirnya sekuat tenaga. Saya berhenti menangis dan hanya menyisakan sesenggukan saja sebelum ia melakukan cubitan.

Perjalanan kembali kerumah kami lalui dengan saya yang digendong menghadap kebelakang, dada saya bersandar pada bahu mbak Partini. Rasanya dada sakit menahan tangis dan senggukan tak berhenti hingga kami melewati kebun yang lebat berisi pohon-pohon jengkol, durian dan kecapi. Tak ada rumah satupun ditengah kebun ini sementara sinar bulan mennembuskan cahaya perak kelubang-lubang antara langit dan tanah yang tertutup daun-daun.

Tangis saya masih saja kadang berbunyi sementara mbak Partini mempercepat langkahnya. Tanah hitam pekat, desiran angin menghujam telinga bersamaan dengan laju langkah kami.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun