Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

(Catatan Tepi) Perang Kecil Cilandak 30 Oktober 1984

30 Oktober 2017   05:40 Diperbarui: 31 Oktober 2017   10:02 2708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: voicesevas.ru

Saat belia, cita-cita yang paling saya dambakan adalah menjadi seorang wartawan perang. Nama HENDRO SUBROTO, wartawan perang Indonesia satu-satunya yang dimiliki media visual elektronik yang juga satu-satunya di republik ini yaitu TVRI tak pernah lepas dari ingatan setiap hari. Laporannya dari perang di Timor-timur dengan pakaian kamuflase bersama ABRI di layar televisi hitam putih mirip dengan Peter Arnette, wartawan perang Amerika seangkatannya, yang menempel pada gerakan pasukan Amerika di Vietnam dan sekutu di Irak.

Hari ini 30 Oktober 33 tahun yang lalu, peristiwa meledaknya gudang peluru di Cilandak seolah menjadi satu peristiwa yang mengundang Adrenalin tetapi juga seolah menjadi peristiwa yang mengundang keinginan untuk berlaku sama seperti dua wartawan perang idola saya. Peristiwa ini bukan main dahsyatnya sekaligus menjadi salah satu peristiwa meledaknya gudang amunisi yang terbesar di dunia.

Wartawan perang cilik ini pernah galau ketika dua hari setelah ledakan keluarga kami terpisah. Bapak yang pada malam peristiwa 30 oktober 1984 itu tengah menjalankan dinas militernya di satu kantor intelijen militer di pusat kota sementara kami sekeluarga pergi mengungsi tanpa bisa memberitahu di mana kami berada Karena keterbatasan alat komunikasi. Praktis selama dua hari bapak tak tahu kami ada di mana sementara kami juga tak tahu bapak ada di mana. Saya membujuk ibu untuk kembali ke rumah setelah ledakan demi ledakan sedikit mereda meskipun masih beberapa kali dalam sehari desingan mortar dan howitzer meluncur ke udara di sekitar rumah. Misi saya kala itu adalah menunggu bapak di rumah dan mengabarkan posisi kami yang mengungsi di sebuah rumah di Perumnas Depok.

Ibu mengizinkan saya pergi sendiri dan ikut dalam rombongan penyuplai logistik militer yang dikerahkan dari Bogor dan Depok. Seperti Aleppo, Cilandak luluh lantak diterjang getaran dan hantaman peluru besar tak tentu arah. Saya turun menjelang masuk Cilandak lalu menyusuri jalan menuju rumah. Rumah kami sepertiga runtuh, debu di mana-mana dan pecahan mortir berupa kepingan logam hinggap di beberapa dinding. Air masih bisa didapatkan karena kami menggunakan pompa tangan Dragon untuk MCK sehingga tidak terganggu.

Saya hanya membawa sedikit bekal uang dan pakaian tetapi tak bisa dipakai karena tak ada satupun warung yang buka. Cilandak seperti kota mati yang ditinggalkan penghuninya, hanya beberapa satuan tempur yang masuk ke dalam lokasi untuk upaya evakuasi peluru kendali yang harus segera disingkirkan karena membahayakan yang berada di sekitar pemukiman. Satu dua anggota pasukan meminta saya menyingkir tetapi saya tetap berkeras dengan memastikan bahwa saya menunggu datangnya bapak kembali ke rumah. Hingga menjelang sore bapak tak juga datang, ia rupanya telah datang satu hari setelah ledakan dan tak menemukan kami. Jejak kaki di ruang tengah yang lantainya ditutupi serpihan plafon yang runtuh menandakan kehadirannya.

Petang mulai menjelang, lapar mulai menyergap, tubuh kecil anak SMP ini mulai menagih energi yang harus diasup. Rumah saya tinggalkan dan kembali berkeliling mencari warung tetapi sia-sia. Beberapa tetangga yang tersisa mencari hal yang sama tetapi tidak menemukan tempat makan hingga satu ketika sebuah jeep Landrover militer berkeliling mengumumkan ketersediaan dapur umum di satu lapangan bola yang baru saja didirikan.

Dingin malam, bau mesiu dan asap yang mengepul di mana-mana menyambut langkah kami menuju dapur umum. Menjelang dekat tenda tempat di mana sekian banyak tentara muda menyiapkan makanan dalam panci-panci besar berukuran raksasa, bau hidangan yang semerbak menusuk hidung dan menggetarkan sendi-sendi karena lapar. Kami cukup menyebut nama orang tua dan alamat rumah lalu sebuah ompreng, sejenis nampan dari alumunium dengan celuk-celuk di permukaannya sebagai penanda batas jenis makan berpindah ketangan kami. Saya mahluk paling kecil ketika itu dan amat kontras dibanding badan-badan tegap dan gagah yang mengantre makanan.

"Ini anak kecil ngapain di sini, mana bapakmu?" seorang koki tentara bertanya ketika antrian saya tiba di depannya sambil ia menuangkan nasi, sekerat daging, sayur dan beberapa potong buah.

"Nunggu bapak di rumah Om, bapak belum pulang-pulang. Ibu, kakak dan adik di Depok. Saya jaga rumah," mulut kecil saya menjawab. Koki klimis itu tersenyum dan menambahkan satu kerat daging dalam kedalam ompreng alumunium.

"Kendel (berani) kamu!" pujinya dalam bahasa Jawa.

Saya duduk di samping tenda dan menggelar makanan dalam ompreng di hadapan dan dengan lahap menyantap seluruh isi nampan. Satu dua orang lelaki mendekati dan meletakkan buah serta kerat daging kedalam nampan saya karena kasihan. Malam itu empat kerat daging masuk kedalam perut dengan derasnya. Bunyi beberapa peluru yang meledak masih kerap terdengar dari gudang peluru yang berjarak kurang dari empat kilometer tetapi cenderung tidak membahayakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun