Mohon tunggu...
Aryadi Noersaid
Aryadi Noersaid Mohon Tunggu... Konsultan - entrepreneur and writer

Lelaki yang bercita-cita menginspirasi dunia dengan tulisan sederhana.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(Catatan Tepi) Noda di Ihram Kami

13 Mei 2017   15:58 Diperbarui: 13 Mei 2017   16:15 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang teman yang baru saya kenal bertanya setelah terlibat  pembicaraan mengisi waktu perjalanan tentang situasi Indonesia terkini: “Jadi dalam urusan Ahok, anda itu ada dipihak siapa?”. Ketika saya tanyakan balik apakah ia percaya bahwa saya di posisi netral, ia malah membuat pernyataan yang menurut saya mungkin saja benar. “Tidak ada posisi netral bagi manusia. Dalam hatinya, dalam pikirannya pasti memiliki kecenderungan pada apa yang yakini dan setujui. Hanya bedanya ada yang mengungkapkannya secara terang-terangan dan ada yang menyimpannya dalam hati,”. Kepadanya saya jelaskan bahwa  Netral bukan berarti tak punya rujukan pada apa yang diyakini benar. Netral itu berarti seseorang belum menentukan sikap karena meyakini masih banyak proses yang harus ia yakini agar ia tahu yang mana yang benar berdasarkan bukti dan peristiwa yang ada, tidak serta merta dipengaruhi oleh satu peristiwa dan satu berita.  Pada akhirnya semua yang Netral akan berpihak. “Jadi sampai saat ini dimana anda berpihak. Anda nggak tersinggung oleh perkataan  Ahok?” tanyanya. “Ya Perkataan Ahok tidak pantas, tidak pantas untuk dia sampaikan olehnya,” “Jadi dia menodai agama anda?” “Pada awalnya saya tidak merasa begitu. Buat saya Alquran terlalu besar dan agung untuk ternoda hanya dilecehkan oleh orang seperti Ahok. Tetapi kawan-kawan seiman saya merasa hal kecil itu tidak boleh dibiarkan maka mereka berusaha membawa Ahok ke Pengadilan lewat cara-cara mereka dan itu hak mereka,” “Bagaimana bisa anda tak tersinggung dan mereka tersinggung. Kitabnya sama, ajarannya sama?” “Loh..level tersinggung kan masing-masing punya ukuran. Di Jakarta ada pengemudi yang langsung berkelahi ketika dibelakang mobil atau motornya ada yang klakson tiga kali. Cuma diklakson bisa marah dan berkelahi. Ada yang diteriaki dan dimaki-maki dijalan oleh pengemudi lain malah pilih tersenyum dan terus berjalan, mereka yang bersikap sabar itu berkeyakinan bahwa melawan orang stress sama saja dengan stress” “Jadi dalam hal ini anda anggap Ahok orang Stress?” tanyanya, saya mengangguk. “Iya stress, bagaimana tidak stress. Ia berkali-kali diganjal hal yang sama ketika mencalonkan diri jadi pemimpin negeri ini. Untuk itu dia curhat  mengucap kata yang salah dan mengungkapkannya didepan umum mengenai ayat yang mengganjalnya itu. Dia nggak sangka kalau apa yang ia gugat itu sudah jadi pedoman mati bagi yang meyakininya. Ingat, preman tukang mabok yang kebetulan beragama Islam saja, nggak pernah sholat apalagi puasa pernah bilang pada saya: Orang boleh ngatain apa saja tentang mereka karena mereka sadar mereka bukan orang baik tapi kalau ada yang berani meremehkan dan mengotak-atik agamanya jangan harap mereka diam saja, ” “Nah sekarang sudah jelas, Hakim sudah menghukum Ahok. Sikap anda gimana?” “Itu artinya perkataan Ahok bukanlah persoalan sederhana. Hakim yakin Ahok Menodai agama dan menghukumnya.  Jadi separuh kesimpulan Ahok memang bersalah,” “Kok separo kesimpulan?” “Ya iya. Sistem peradilan kan memungkinkan orang untuk divonis ditingkat pertama dan itu belum sepenuhnya keputusan yang final. Masih ada banding dan Kasasi. Sampai putusannya final  saya masih anggap hal ini belum bisa disikapi,” “Jadi keIslaman anda ada pada level apa kalo begitu?” tanyanya gusar. “Bagi saya Islam itu ibarat pakaian yang saya pakai. Ibarat kain Ihram, Islam itu putih bersih, melindungi saya dari aib dan cela yang menghalangi saya dari perbuatan tidak baik. Semua muslim memakai pakaian yang sama, ada yang berusaha menjaga ada juga yang tidak memperdulikannya. Saya berusaha menjaganya sepanjang hari, begitu juga banyak muslim yang lainnya dan Perkataan Ahok kemarin di Pulau seribu itu ibarat mencipratkan liur yang keluar dari perkataannya, jatuh ke sebahagian kain ihram kami. Kenyataannya Ahok memang sudah menempatkan sesuatu pada kain putih Ihram kami, hanya cipratan ya, karena ia tidak langsung merobek apalagi menempatkan kotoran lewat tangan dan perbuatannya,” “Lalu kotoran dari mulutnya itu dianggap menodai?” “Sebagian merasa Ihramnya langsung menguning sementara saya sendiri merasa noda cipratan itu belum terlihat mempengaruhi warna ihram saya  dan harus diperiksa di Laboratorium. Hakim lah yang akan memeriksanya di Laboratorium bernama pengadilan. Apakah cipratan itu mengandung hal najis yang menodai atau tidak. Sebahagian sudah memvonis meyakini karena Ahok suka daging Babi maka liur yang keluar langsung dibilang sesuatu Najis Mugholadoh,” “Apa itu Najis Mugholadoh?” “Najis yang teramat tinggi kadar najisnya. Harus dibersihkan dengan tidak bisa sekedar dicuci,” “Tapi kan belum tentu saat itu Ahok habis makan Babi. Bisa jadi cuma makan ikan karena terjadi di pulau Seribu?” “Itulah pentingnya  laboratorium pengadilan, saya bukan orang yang ahli untuk menentukan. Just wait and see” “Jadi pakaian Ihram anda sendiri masih terasa terlihat putih sampai hari ini?” “Tanpa menunggu putusan Pengadilan saya sudah lebih dulu membersihkannya, tak perlu menunggu dan tak perlu harus marah-marah sepanjang waktu. Jika nanti Hakim tingkat paling tinggi menyatakan noda yang dicipratkan Ahok adalah sesuatu yang Haram dan menodai, saya akan mempercayai dan mengormati putusannya. Saya sudah membersihkan Ihram saya dengan Maaf ” “Lalu jika ahok dinyatakan  bersalah, apa yang bisa  membersihkan kembali sekian banyak pakaian Ihram yang sudah ternoda itu?” “Hakim, hakimlah yang menentukan. Jika Hakim Mahkamah Agung terakhir memutuskan Ahok harus dipenjara maka itulah harga yang harus dibayar  dan mungkin itu yang bisa meyakinkan sebagian orang menghilangkan noda yang mereka merasa dapatkan. Saya sendiri sudah membersihkannya sejak mendengar perkataan itu dengan tidak mengganggu urusan agama orang lain,” “Jadi Ahok memang harus bertanggung jawab?” tanyanya. “Setiap perbuatan apapun baik dan buruk harus dipertanggung jawabkan tinggal bagaimana kita belajar dari kesalahan yang kita sendiri kadang tidak sadari. Suka tak suka, Ahok sudah menerima hukuman pertama yaitu terjungkal dari kursi Gubernur Jakarta,” “Iya betul. Salah itu salah dan benar itu benar. Memaafkan suatu kesalahan jauh lebih berat daripada sekedar memperjuangkan kebenaran. Terima kasih, pembicaraan yang menarik ini!” “Sama-sama, semoga suatu saat kebersihan Ihram kami bisa melindungi tubuh anda!” tutup saya. Untukku Agamaku Untukmu Agamamu From the desk of Aryadi Noersaid

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun