Ketika masih di masa sekolah, Komite Sekolah bukanlah sesuatu yang penulis pahami dengan baik, kecuali minta iuran, memilih ketua yang entah apa fungsinya, dan gaib selama sisa tahun ajaran. Penulis coba mengingat, berapa kali istilah Komite Sekolah disebutkan selama kami menjalani pembelajaran dalam satu tahun itu? Apalagi selama tiga tahun atau enam tahun pembelajaran.Â
Secara teoritis, seharusnya keberadaan Komite Sekolah adalah semacam badan perwakilan di ranah sekolah. Orang tua mewakili anak mereka, para siswa, di sebuah forum yang membahas tentang sekolah, yang biasanya soal pembangunan sekolah. Jika ada keinginan dari para siswa, maka akan disampaikan kepada orang tua yang merupakan bagian dari Komite Sekolah, dan secara berkala, Komite Sekolah akan mengadakan pertemuan rutin untuk membahas usulan siswa, atau dinamika sekolah.
Setidaknya, itulah yang ada di pikiran penulis ketika pertama membayangkan sebuah Komite Sekolah. Untuk meningkatkan keakuratan, penulis mencari bacaan soal Komite Sekolah. Dapatlah, sebuah artikel yang dimuat di laman Kemendikbud sendiri yang dirilis tahun 2017 silam. Secara general, memang bayangan penulis sudah cukup meliputi tentang Komite Sekolah.
Satu hal, ternyata Komite Sekolah tidak diisi oleh guru-guru. Komposisi mencakup orang tua (Maksimal 50 persen), tokoh masyarakat (Maksimal 30 persen), dan pakar pendidikan (Maksimal 30 persen). Dari sudut pandang penulis sendiri, tentang komposisi ini tidak penulis ketahui sewaktu bersekolah. Memang, komposisi yang dikutip di tulisan adalah adalah intisari dari Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, sedangkan penulis berada di jenjang sekolah, dan di awal masuknya, itu sebelum 2016. Poin yang ingin penulis soroti di sini, bahwa tentang komposisi ini ada baiknya juga disosialisasikan kepada para siswa; Jangan sekedar pengetahuan textbook yang tidak pernah dijamah.Â
Berdasarkan Permendikbud yang sama, memang tugas dari Komite Sekolah menyerupai lembaga pengawas bagi keberlangsungan operasional sekolah. Bukan sekedar menggalang dana, tetapi juga mengawasi pelaksanaan anggaran sekolah itu sendiri. Dalam hal ini, selama bersekolah, tidak penulis ketahui apakah yang demikian ada atau tidaknya campur tangan dari Komite Sekolah terhadap sekolah sendiri. Cuma, benar bahwa ada pelaporan keuangan dana BOS di papan pengumuman. Sayangnya, bagi kebanyakan siswa, bahkan OSIS di sekolah penulis waktu itu, tidak begitu kritis atau tidak begitu melek dengan laporan yang ada.
Dari yang penulis baca sejauh ini, memang penggalangan dana bukanlah sesuatu yang mutlak dilarang, selama ada konsen dari Komite Sekolah. Namun, jangan lupakan juga, bahwa Komite Sekolah juga menampung aspirasi dari para siswa dan orang tua mereka, jika ada keberatan akan penggalangan dana, entah besaran dana atau lainnya, maka aspirasi tersebut harus dibahas dan diputuskan bersama dengan seadil-adilnya. Kembali, setidaknya dari refleksi perjalanan penulis di bangku sekolah, keberadaan forum musyawarah Komite Sekolah yang berkala itu tidak ada. Sejauh yang penulis ketahui, OSIS yang lebih mendominasi panggung organisasi sekolah, tapi tidak dengan Komite Sekolah.Â
Dalam hal ini, OSIS sejatinya juga merupakan mitra dari Komite Sekolah yang merupakan perwakilan murni dari para siswa. Jikalau Komite Sekolah 100 persen tidak ada unsur siswanya, maka OSIS adalah 1000 persen dikelola dan dijalankan oleh para siswa dengan arahan para guru pembina. Sayang sekali, dalam pengalaman penulis selama bersekolah, tidak ada terlihat komunikasi yang langsung antara OSIS dengan Komite Sekolah. Para siswa biasa lebih mengenal OSIS dibandingkan Komite Sekolah, yang mana lebih erat dengan iuran tahun ajaran baru.
Dari semua penjelasan penulis, jelaslah bahwa Komite Sekolah ini, dan OSIS tentunya, adalah sebuah lembaga demokratis yang seharusnya menjadi wadah pembelajaran politik sejak masa sekolah. Jika unsur-unsur ini berjalan baik, maka sepatutnya para siswa di negeri ini telah memahami dasar-dasar dalam pendidikan politik, terutama yang berkaitan dengan berorganisasi, pengambilan keputusan, dan pengawasan keputusan. Maka tidak seharusnya ada kesan bahwa siswa sekolah tidak melek politik.Â
Kita sudah memiliki lembaga demokrasi di sekolah, cuma kita perlu memperkuat pelaksanaannya agar lebih baik lagi. Masa bersekolah itu lama. Wajib belajar saja 12 tahun, belum berkuliah. Di masa wajib belajar saja, waktu selama itu sudah lebih dari cukup untuk membentuk para siswa yang melek politik, sehingga memiliki ketetapan hati dan tidak mudah diombang-ambingkan ketika pertama melihat politik praktis
 di negeri ini.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI