Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Inner Sanctum (I), Mendung di Selatan

6 Desember 2018   07:05 Diperbarui: 6 Desember 2018   08:26 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Dasar, guruku di sekolah berarti sok tahu. Kok bisa jadi guru ya, orang itu?? Terkadang apa-apa yang diajarkannya di kelas terasa aneh dan tidak masuk akal. Malahan aku sering dimarahi ketika aku bertanya kebenaran dari perkataannya itu. Jadi, apa aku salah, tuan pengembara??"

            "Wah, itu cukup keterlaluan sih, guru kamu itu. Tapi, kamu juga tidak boleh terlalu memberontak terhadap orang itu. Walau bagaimanapun, dia itu masih berstatus sebagai 'guru,' orang yang mendidik kamu. Tapi, kamu sudah tidak sekolah lagi ya??" ucap pengembara yang lebih pendek.

            "Tidak, aku tidak bersekolah lagi." Jawab Arka jutek.

            "Mengapa demikian?? Rasanya rugi kan, kalau tidak sekolah??"

            "Ya, mau gimana lagi. Di desa ini, yang pantas bersekolah hingga level tertinggi hanya mereka yang berasal dari keluarga kaya. Sementara kami yang miskin ini, ya, sekolah hingga usia 10 tahun saja sudah cukup. Aneh? Iya. Tapi, ya, mau bagaimana lagi." Tandas Arka jutek.

            Sementara Arka dan pengembara yang pendek asyik berbincang-bincang, pengembara yang satu lagi terlihat muram dan hanya memandang ke arah perapian sedari tadi. Padahal dia duduk di samping Arka, suatu hal yang mudah baginya jika ingin membuka pembicaraan atau bergabung dengan pembicaraan yang telah ada. Tetapi, dia tidak terlau menghiraukan. Perumpamaannya, seakan-akan tubuh orang itu ada di kedai itu, akan tetapi jiwanya terbang entah kemana.

            Dan hal itu telah disadari oleh Arka sedari tadi. Entah mengapa, suara Arka yang keras dan bersemangat itu tidak menarik perhatian dari pengembara tinggi itu. Padahal, sebelum-sebelumnya, tidak ada satupun orang yang sanggup jutek terhadap semangat yang Arka perlihatkan ketika berbicara. Dan hal itu cukup mengganggu bagi Arka, yang notabenenya adalah  seorang yang nyinyir. Beberapa kali dia melihat orang itu, tapi tidak ada respon sedikitpun dari dia.

            "Hahaha, aku paham. Kakak ku ini memang tipikal orang yang sangat pendiam. Bukan kaleng-kaleng diamnya. Berbeda dari orang lain yang pendiam juga tetapi masih bisa menyesuaikan dengan lingkungan yang ribut, Kakak ku ini benar-benar tidak menghiraukan keadaan sekitar. Yang jelas, dia tidak pekak, ya. Akan tetapi, ya, begitulah." Jelas pengembara yang pendek.

            Arka hanya mengangguk-angguk. Apa ada ya orang seperti itu?? Aneh-aneh saja dunia ini.

             Pintu dapur terbuka, terlihat nenek Nyon keluar sembari membawa baki kayu dengan empat buah mangkuk berisi sop tomat panas di atasnya. Wajah nenek Nyon selalu tersenyum, meski sebenarnya dia juga merasa rada capek malam hari itu.

            "Silahkan semuanya, kita harus mengisi tenaga kita kembali, bukan? Ini, aku sengaja menbuat sop tomat yang baru, khusus untuk kita saja. Silahkan, jangan malu-malu, ambil saja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun