Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Kisah Dua Orang Prajurit

29 November 2018   08:07 Diperbarui: 29 November 2018   08:33 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Sebuah pos perbatasan berdiri dengan reyot, sudah uzur termakan usia. Pos perbatasan itu pun hanya dijaga oleh dua orang prajurit yang sama selama 3 tahun lebih. Entah sedang kekurangan personil, akan tetapi, kenyataanya semakin sedikit anak muda yang mau meluangkan waktunya sebagai kadet personil perbatasan. Sayang sekali, padahal menjaga perbatasan negeri juga merupakan bagian dari bela negara.

            "Ya, itu benar To. Akhir-akhir ini, para pemuda lebih banyak terjun di bidang peternakan dan pertanian, meskipun nyatanya mereka tetap menjadi pekerja para kalangan kaya. Mereka beralasan gajinya lebih tinggi, padahal, aku pikir tidak terlalu tinggi juga." Keluh seorang prajurit.

            "Lucu ya, Amin? Sudah lama kita berjaga-jaga di sini, yang semakin aneh justru apa yang kita lindungi di belakang, Desa TarukoPedang. Memang aneh, bukan? Sebuah desa justru memiliki pos perbatasan tersendiri, seperti tempat ini. Padahal, jika kerajaan berminat, mereka pasti bisa melenyapkan kita dengan cepat." Pungkas Arto, seorang prajurit muda yang belum menikah.

            "Memang benar, pasukan kerajaan memang sangat kuat, dan kejam. Terlebih, semenjak kastil tua itu ditaklukkan oleh pasukan yang dipimpin orang berjubah maroon, pasukan yang dibentuk setelahnya lebih tepat menyandang gelar 'Pengabdi Setan.' Bukan mengada-ngada, akan tetapi penampilan mereka memang terkesan begitu menyeramkan, seakan-akan sedang terikat di dalam suatu kontrak sihir gelap."

            "Amin, apa kau percaya dengan keberadaan sihir gelap?" Tanya Arto.

            "Antara percaya dan tidak. Aku pernah sakit, dahulu sekali, dan para tabib maupun dukun biasa tidak sanggup menyembuhkan penyakitku. Orangtuaku sudah pasrah, pasrah sekali. Sebelum akhirnya salah satu pamanku mengajurkan agar aku dibawa berobat jauh ke luar desa. Perjalanannya cukup lama, sekitar 10 hari perjalanan. Tempat berobatnya pun aneh, seperti sebuah pondok yang mengapung di atas air. Ketika aku dibawa masuk, hanya aku yang diperbolehkan ada di dalam. Kedua orang tuaku dan kusir kami terpaksan menunggu dengan harap-harap cemas di luar. Aku bingung sekali, aku melihat ruangan dan orang yang akan menyembuhkanku, tetapi rasanya aku tidak melihat apa pun. Orang itu, terkesan seperti sebuah siluet bagiku. Dengan mantra yang tidak bisa aku pahami, suluk-suluk yang tadinya padam tiba-tiba menyala. Apinya tidak bewarna merah, tetapi biru. Sungguh kejadian yang aneh, seketika aku pingsan dan tidak sadarkan diri." Jelas Amin panjang lebar.

            Cukup sulit untuk meyakini penyataan dari orang-orang yang mengaku pernah mendapatkan atau merasakan sensasi sihir gelap. Meskipun demikian, pengakuan dari Amin terkesan tidak ada celah. Ekspresi mukanya terlihat begitu serius, bahkan tidak ada kegelisahan. Dia menceritakan ulang kejadian itu dengan begitu lancar dan tenang.

            "Lalu, apa yang terjadi denganmu? Maksudku, kau mengatakan bahwa dirimu pingsan setelah, apa namanya, pijaran api biru? Lalu, apa yang terjadi setelahnya?" Tanya Arto gelagapan. Meski seorang prajurit, akan tetapi kisah takhayul tetap merasuki alam pikiran Arto.

            "Aku tidak begitu ingat. Yang jelas, ketika aku membuka mataku, aku sudah berada di rumah. Anehnya, kedua orangtuaku dan kusir kami juga tertidur di rumah itu. Ketika mereka bangun, aku bertanya, 'Ayah, bagaimana caranya aku kembali ke rumah?' Ayahku hanya terdiam. Dia pun juga terlihat begitu kebingungan. 'Entahlah, nak. Kami pun juga tidak memahami atau pun mengingat, bagaimana caranya kita sampai ke rumah?' Jawaban itu, sejujurnya, tidak membuatku merasa puas. Segera aku berlari ke luar untuk menemui beberapa orang teman. Bahkan, ketika mereka melihatku, ekspresi mereka begitu heran dan terkejut. Salah satu di antaranya berkata, 'Lah, sudah pulang? Sejak kapan?' "

            Arto, yang sedari tadi berusaha menahan rasa takut yang luar biasa, sekarang seperti tidak sanggup lagi mengendalikan emosinya. Air matanya seakan-akan mengalir laksana air terjun. Wajahnya, benar-benar terlihat jelek. Bibirnya tertarik ke atas. Begitu memelas wajahnya.

            "Hey hey hey, mengapa kau bereaksi seperti itu? Bukan kah ini terkesan aneh? Sadar lah!!! Kau ini seorang prajurit. Jangan dengan mudah menampakkan kelemahanmu di hadapan orang lain. Meskipun itu seorang teman yang juga seorang prajurit." Bentak Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun