Mohon tunggu...
Andreas Doweng Bolo
Andreas Doweng Bolo Mohon Tunggu... Dosen - fides et ratio

Biodata: Nama: Andreas Doweng Bolo Pekerjaan: Dosen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teror: Garis Tipis Kesalehan Agama dan Rasionalitas

3 April 2021   15:53 Diperbarui: 3 April 2021   16:31 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Dari semua nafsu yang mampu memperbudak keinginan manusia, tidak ada yang lebih tidak sesuai dengan akal dan kebebasan daripada fanatisme agama (Robespierre). Kata-kata dari sang revolusioner penebar teror paling mematikan ini perlu diwaspadai. Fanatisme agama menjadi pintu masuk pada teror. Kewaspadaan akan peringatan di atas juga terungkap dalam sebuah diskusi bertajuk “Mencegah Radikalisme dan Terorisme untuk Melahirkan keharmonisan Sosial” dimana Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj mengatakan membasmi jaringan terorisme harus dilakukan dari pintu masuk ekstremisme yaitu ajaran Wahabi dan Salafi.   Peryataan ini tentu bukan sesuatu yang baru dalam arus pemikiran baik di NU maupun Muhammadiyah. Pada tahun 2009, dalam buku Ilusi Negara Islam, kekritisan melihat dua model ajaran ini telah dikaji juga.  Tentu saja, tema agama dan teror (baca perang) bukan hal baru dalam sejarah umat manusia. Pada abad ke sebelas, Abu ‘l-Ala al-Maarri pujangga Syria abad kesebelas, bermukim di kota Maarat an-Numan yang diserbu gerombolan kanibal  beragama Kristen yang telah menempuh tigaribu mil untuk menyelamatkan Tanah Suci atas nama Yesus, menulis: “Dunia terbagi dalam dua sekte: Yang beragama tapi tak berotak. Dan yang berotak tapi tak beragama” (Donald B. Calne, Batas Nalar, hlm 247). Betapa tipisnya garis itu antara kesalehan agama dan rasionalitas. Karena begitu tipisnya batas itu, maka sikap terbuka, untuk terus mencari dan berziarah dengan keberanian, kerendahan hati dan ketulusan berbagi menjadi spirit bersama yang perlu terus dihidupkan.

Arkeologi Teror 

Kata Teror bisa dirunut ke akar kata Latin Terrere: membuat gemetar. Ketakutan ini telah diciptakan sejak kerajaan pertama ada di dunia tepatnya di Mesopotamia dengan Sargon dari Akkad  sebagai raja pertama. Raja dan kerajaan pertama ini tidak diketahui persis berdirinya tetapi dikatakan berakhir sekitar tahun 2279 Sebelum Masehi. Ia mendirikan kerajaan ini dengan teror. Demikian juga kerajaan-kerajaan Assyria dengan kekuatan militer yang dasyat menebarkan teror untuk  menghancurkan semangat dan mematahkan spirit siapa saja yang ingin memberontak (bdk.Gerard Chaliand and Arnaud Blin, The History of Terrorism, p.vii). Teror yang berkaitan dengan kekuasaan ini juga bisa dilihat pada Revolusi Prancis ketika Revolusi itu diumumkan. Setelah rangkaian kejadian yang panjang teror diumumkan di bulan April 1793. Guillotine di pasang dan demi Kehendak Umum (Volente Generale) 13.000 sampai 17.000 kepala manusia dihabisi. Teror dasyat dan ketakutan mendalam ditebarkan untuk membangun sebuah masyarakat yang oleh Sang Pemimpin Robespierre dan Kaum Jacobin demi mendapat kepatuhan.

                Teror yang didorong oleh motif agama juga dapa dilihat dari abad pertama kelompok Zelot Yahudi dan juga pada abad ke 11-13 kelompok Isma’ili sekte Assasins pun memakainya. Demikian juga pernyataan pujangga Syria di atas melukiskan hal itu. Teror berbalut agama memang perlu dicermati dengan sungguh karena akar-akar penyebab yang sangat mungkin tak tunggal. Sementara itu corak berpikir ilmiah kita cenderung monolitik dalam melihat persoalan dan menyelesaikan permasalahan.

Memeriksa motivasi agama dibalik teror 

Setiap kali ada teror selalu disusul dengan refrain pernyataan bahwa teror tak berkaitan dengan agama apapun. Tentu akal sehat kita menerima pernyataan ini ditataran idealisme bahwa memang demikian agama pada hakekatnya mengajarkan welas asih, cinta kasih, rahman rahim bagi semua makhluk. Tetapi di sisi lain, ada motivasi keagamaan dibalik berbagai aksi teror tersebut. Pada tulisan kecil ini penulis ingin menyoroti motivasi itu dengan mencoba melakukan pembacaan sederhana atas dua surat wasiat yang viral ke publik pasca bom bunuh diri di Makasar dan penembakan di Mabes Polri.

                Penulis akan meninjau peristiwa ini dalam kaca mata filsafat terutama dengan memakai cara pandang hermeneutika.  Diskursus ini penulis petakan dengan tiga konteks yaitu, pra-teks, teks, dan pasca teks. Tiga istilah yang sebenarnya menunjukkan satu kesatuan dalam pemaknaan Derridean. Teks dalam studi hermeneutika menjadi basis kajian yang membuka wawasan luas baik dalam di ilmu-ilmu alam (naturwissenschaften) atau pun dalam ilmu-Imu manusia (geisteswissenschaften). Jacques Derrida menggunakan kata “teks” dalam arti yang luas tak sekedar arti biasa yang selama ini telah ada. Kata teks sendiri berakar dari kata Bahasa Latin texere yang berarti menenun. Sehingga bagi Derrida tak ada sesuatu pun di luar teks (hors-texte), bila fenomenologi bicara tentang intersubyektivitas maka hemeneutika Derrida lebih bicara tentang intertekstualitas. Dan dalam konteks intertektualitas ini filsuf Prancis ini menciptakan istilah baru yaitu différance, sebuah kata yang tak ada dalam kamus Bahasa Prancis. Kata ini semacam upaya untuk menerjemahkan realitas hidup yang tak sanggup ditangkap oleh ilmu pengetahuan. Tetapi sekaligus différance pun tidak bisa dijadikan obyek ilmu pengetahuan karena dia hanyalah sekadar jejak (trace). Sebuah teks sebenarnya tak pernah stabil ia bisa berubah, dibuang, dihadirkan kembali, diberi makna baru dan sebagainya. Jejak filosofis ini yang akan coba diperiksa oleh penulis dengan berbagai teks yang tampil setelah peristiwa teror di Katedral Makasar dan Penyerangan di Mabes Polri.

                Pertama, Pra-teks bagi penulis pernyataan KH Said Aqil Siroj dan pernyataan ketua DPP PKS Mardani Ali Sera ada dalam konteks pra-teks. KH Said Aqil Siroj mengatakan bahwa  pintu masuk terorisme yaitu ajaran wahabi dan salafi. Sedangkan Mardani Ali Sera mengatakan bahwa terorisme dipicu oleh banyak faktor bisa karena pikiran, bisa karena ekonomi dan rasa ketidakadilan atau gabungan dari keseluruhannya (Detik 30/03/2021). Bila teror menjadi sebuah teks, maka ajaran inilah menjadi sebuah pra-teks. Istilah yang dipakai pun dalam kaca mata Derrida menunjukkan ketidastabilan itu, “pintu masuk”. Istilah ini sendiri sebuah tanda, karena wahabi dan salafi sebagai pintu masuk pun menjadi sebuah tanda yang terbuka. Sebuah tanda yang dalam peristilahan Derrida harus didekonstruksi. Dan kita melihat dekonstruksi itu telah dimulai dalam diskusi yang di gagas oleh Nahdlatul Ulama sebagaimana disiarkan dalam NU TV tersebut. Pintu diskursus itu dibuka dan ruang untuk berargumentasi secara rasional-humanis terbuka lebar. Demikian juga pernyataan Mardani Ali Sera bahwa terorisme dipicu oleh banyak faktor juga menunjukkan ketidakstabilan itu. Namun, dalam ketidakstabilan itulah kita membaca teks yaitu tindakan teror itu sendiri.

                Kedua, teks bagi penulis adalah tindakan teror itu sendiri. Berkaca pada pemaknaan bahwa tak ada sesuatu yang di luar teks (hors-texte) maka tindakan teror itu sendiri juga perlu diperiksa dalam konteks ini. Tindakan melakukan bom bunuh diri bisa dibaca dalam teks  différance, Derridean. Dalam pengertian ada penundaan kehadiran. Bom bunuh diri menimbulkan jeda pemahaman antara pelaku dan semua yang bukan pelaku (masyarakat umum termasuk tokoh agama, aparat, akademisi, politisi). Tindakan bom bunuh diri juga membuat kita mendekonstruksi segala oposisi binear yang telah kita percayai begitu saja. Baik vs buruk, agama vs tidak beragama, radikal vs moderat, teistik vs ateistik. Demikian juga segala nalar apriori  yang selama ini kita miliki begitu saja bahwa agama mengajarkan kebaikan, saling mencintai tetapi sekaligus segala nalar ini perlu kita tunda pemahaman dihadapan teror ini. Pernyataan bahwa agama tidak mengajarkan teror semua agama baik, seakan menjadi refrain yang tak menjawab permasalah konkret.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun