Mohon tunggu...
Humaniora

(Sambutan Ketua Umum Arus Bawah Jokowi Pada Seminar Pembebasan Tapol-Napol Papua): Makin Papua, Makin Indonesia

30 Juni 2015   06:39 Diperbarui: 30 Juni 2015   06:39 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

Revolusi peradaban yang kian cepat sudah masuk pada era virtual di mana setiap manusia memasuki ruang dan waktu yang serba digital. Pada saat yang bersamaan terjadi pula pergeseran budaya konvensional pada pola perilaku yang ultra modern yang mendorong kehidupan yang makin universal dan egaliter.

Peradaban dunia pada akhirnya secara revolusioner bergerak dari pola yang tradisional komunal menjadi individual homogen. Dimana kohesi sosial bukan lagi pada bukan lagi pada ikatan-ikatan kekerabatan sukuisme, agama, dan golongan, tapi sudah pada ikatan persamaan pandangan, persamaan minat dan persamaan kemampuan profesionalitas. Dengan kata lain, proses ini sedang bergerak dari fase komunalisme kepada fase universalisme.

Revolusi peradaban yang tak terhindarkan ini pada akhirnya akan meruntuhkan tembok-tembok primordial termasuk, kalau tidak dijaga benar, adalah tembok ideologi. Kita akan memasuki abad digitalisasi dan semua gagasan akan dipergesekkan secara dialektis dan secara cepat pula akan terjadi proses sintesis peradaban yang nanti makin universal.

Hal ini sebagaimana sudah diprediksi oleh Emil Durkheim. Dorongan-dorongan untuk terus bergerak dari fase tradisional dengan pola solidaritas mekanis ke arah masyarakat modern dengan solidaritas organis. Artinya alat perekat era modern ini bukan lagi soal kekerabatan ideology suku agama, ras atau golongan, tapi sudah bergeser kepada kesamaan konsep, gagasan dan keahlian. Di sinilah era di mana perbedaan menemukan tempat yang paripurna. Justru ketika manusia itu berbeda, [misalnya andai kata semua orang di Indonesia itu berpuasa--dan negara mengharuskan mutlak, maka Indonesia selama bulan Ramadan bisa tutup  sama sekali. Beruntung Indonesia adalah negara pluralis terbesar di dunia sehingga, ketika hampir kebanyakan orang Indonesia berpuasa, ada sudara-sudara kita yang tidak berpuasa sehingga mereka bisa mengerjakan hal-hal yang lebih berat dan lebih bersemangat. ]

Aguste Comte bahkan menyebut pada fase terakhir kita berada pada pola positif rasional, di mana masyarakat akan lebih rasional dan positif melihat berbagai perbedaan sehingga tidak perlu lagi terjadi pergesekan sosial seperti pada pola tradisional.

Apalagi ketika kita memasuki era boarderless. Dunia dan Indonesia sedang menuju pada pola negara tanpa batas. Pertarungan antar negara bukan pada batas-batas territorial lagi, tapi sudah pada pertarungan pasar global. Internet, facebook, dan sosial media, sudah menjadi pendobrak setiap individu berpikir, bergerak, dan berpola global.

Hari ini terbukti penjualan online antar benua sudah terjadi begitu cepat dan massif, dan negara tidak dapat berbuat banyak untuk melakukan upaya kontrol arus masuk keluar barang ini. Uang, barang, dan gagasan telah bertukar dengan sangat fantastis pula membentuk sebuah peradaban digital yang makin tanpa batas.

Karena itu, Pemerintah Indonesia harus pula melihat perbedaan dengan pola penyelesaian masalah dengan cara yang berbeda. Sudah bukan jamannya melihat perbedaan radikal ini dengan cara pendekatan teritorial belaka. Begitu pula melihat Papua. Bahwa ada yang jauh lebih penting dari sekadar percaya pada fobia politis terhadap masyarakat yang memperjuangkan soverinitas bangsanya.

Bangsa Papua sebagai sebuah kesatuan masyarakat adat tentu memiliki kebanggaan-kebanggaan sebagai sebuah entitas kultural yang genuine lahir dan berakar pada adat dan tanah adat Papua. Hal ini harus diapresiasi bahkan perlu difasilitasi. Justru bangsa Papua harus “dimerdekakan.” Dimerdekakan dari kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan. Biarkan bangsa Papua menjadi masyarakat yang maju, modern, dan beradab sehingga terbangun solidaritas organis antara masyarakat, antar suku-suku di Papua, dan antara masyarakat Papua dan masyarakat Indonesia. Dengan demikian maka kita akan melihat Indonesia makin kuat. Kalau Papua makin maju, maka Indonesia akan semakin hebat.

Sudah saatnya kita pula menyebut nusantara dari Merauke hingga ke Sabang, karena sesungguhnya pola abjadnya lebih dahulu Merauke baru Sabang, bahkan pola universe nya, Merauke lebih dahulu melihat matahari dari pada Sabang.

Saudara-saudara kita di bumi Cendrawasi adalah saudara kita yang kita butuhkan sebagai sebuah entitas Indonesia yang utuh. Bagi kami makin Papua makin Indonesia. Justru dengan adanya Papua dalam ranah nusantara maka makin Indonesia. Karena itu, mari melihat Papua dari kacamata yang berbeda. Yakni dari perspektif kultural bahwa Papua adalah entitas sosial yang genuine yang perlu kita ajak berdialog secara sejajar terhadap bagaimana semestinya menyelesaikan persoalan-persoalan terkait Papua.

Dan benar, dalam sejarahnya di Pemerintahan Republik ini, baru Jokowi lah, yang pertama kali memberi tempat yang khusus dalam admistrasinya, di mana ada staf khusus bidang Papua, dalam hal ini dijabat oleh Lenis Kogoya, STh, Mhum. Dengan gebrakan pertama dan spektakuler telah mengusahakan pembebasan Tapol oleh Bapak Presiden Republik Indonesia sebanyak lima orang Tapol. Ini menandakan pemerintahan Jokowi sudah membuka ranah baru terhadap penyelesaian Papua.

Ada niat tulus dari Jokowi untuk menyelesaikan masalah Papua dengan dampak yang cukup beresiko ketimbang membiarkan kondisi ini berlarut-larut yang malah nanti menimbulkan akumulasi sosial yang bisa berujung pada hal yang merugikan kedua pihak. Niat Presiden Jokowi ini patut kita apresiasi sebagai langkah awal, untuk membenahi Papua secara komprehensif. Tidak saja dari sisi politik anggaran seperti yang biasanya, tetapi sudah masuk ke ranah sosiokultural yang mana merupakan aspek paling mendasar dan hakiki dari kondisi Papua yang sebenarnya.

Sayangnya, niat tulus dari Presiden ini tidak sepenuhnya disambut positif oleh banyak pihak. Anggota DPR RI dari Komisi I, secara terang-terangan menyatakan dihadapan media massa bahwa tindakan Presiden Jokowi adalah keliru. Ini menandakan bahwa sebenarnya masih banyak masyarakat Indonesia yang belum paham secara utuh masalah Papua. Karena itulah maka seminar, Pembebasan Tapol-Napol ini menjadi sangat penting dilakukan guna membuka mata masyarakat dan para politisi untuk akhirnya memahami dan mendukung langkah Presiden Jokowi dalam menangani masalah Papua secara komprehensif.  

Ketua Umum

Veldy Reynold

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun