Mohon tunggu...
Ana susanti
Ana susanti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kearifan Lokal sebagai Sistem Peringatan Dini Bencana

5 Februari 2019   20:05 Diperbarui: 5 Februari 2019   20:35 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PERASAAN sedih bercampur aduk dengan kekhawatiran memenuhi isi kepala saat kaki ini menapak di bumi Palu. Bumi Palu bersedih. Palu porak-poranda oleh gempa, tsunami, dan likuefaksi. Panggilan kemanusiaam membawa saya ke bumi Palu ini. Penanggulangan trauma pascabencana di Palu, sangat dibutuhkan oleh saudara-saudara. Here i'am in Palu.

Gempa bumi Sulawesi Tengah 28 September 2018, pukul 18.02 WITA merupakan peristiwa gempa bumi berkekuatan 7,4 SR diikuti dengan tsunami yang melanda pantai barat Pulau Sulawesi. Pusat gempa berada di 26 km utara Donggala dan 80 km barat laut kota Palu dengan kedalaman 10 km.

Hal yang menarik akibat guncangan gempa bumi di Palu, beberapa saat setelah puncak gempa terjadi muncul tsunami dan gejala likuefaksi (pencairan tanah) yang memakan banyak korban jiwa dan material. Dua tempat yang paling nyata mengalami bencana ini adalah Kelurahan Petobo dan Perumnas Balaroa di Kota Palu.

Gempa bumi, tsunami, dan likuefaksi telah menyebabkan kerugian yang tidak sedikit. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan, kerugian akibat kerusakan usai gempa Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah melebihi Rp 10 triliun.

Kendati masih dalam tahap pendataan, kerugian dan kerusakan di Sulteng diprediksi lebih besar dari gempa di Lombok yang terjadi beberapa waktu lalu.

BNPB menyatakan korban meninggal dunia akibat gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah telah mencapai 2.045 orang, paling banyak ditemukan di kota Palu mencapai 1.636 orang dan disusul Sigi kemudian Parigi. Sementara itu, jumlah pegungsi mencapai 82.775 jiwa di 141 titik.

Banyaknya korban jiwa Palu membuat saya prihatin, sebuah pemikiran tentang penanggulangan bencana (mitigasi) baik sebelum, saat, dan sesudah bencana menjadi konsentrasi untuk diwariskan kepada anak cucu kelak dikemudian hari.

Ada hal yang menarik ketika kearifan lokal warga sekitar menjadi sebagai sistem peringatan dini jika terjadi bencana, sebut saja kata SMONG di pulau Simeuleu Aceh.

SMONG, Warisan Kearifan Lokal Masyarakat Simeulue Aceh

Smong sebagai sistem peringatan dini jika terjadi gempa. Kata smongartinya "ajakan lari ke tempat yang lebih tinggi". Ungkapan masyarakat Simeulue ketika terjadi gempa telah diwariskan secara turun-temurun. Dongeng sebelum tidur tentang legenda smong menjadi cerita wajib pengantar tidur.

Ketika gempa 2004 dan air laut surut secara tiba-tiba, 78.000 populasi masyarakat Pulau Simeulue meneriakkan smongdan bergegas menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi, bukit, atau pegunungan. Imbasnya luar biasa, tsunami dahsyat yang menghempas Simeulue tak berarti apa-apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun