Mohon tunggu...
Muhammad Azry Zulfiqar
Muhammad Azry Zulfiqar Mohon Tunggu... Ilustrator - Independent Writer

Coffee, Fee, Fee muhammadazry34@gmail.com Blog: https://horotero.wordpress.com/ Bekerja dan mencuri waktu berselingkuh dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Resign atau Lanjut Bekerja meski Setengah Hati?

12 Maret 2021   14:56 Diperbarui: 12 Maret 2021   15:15 1538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika seseorang berbicara tentang beban kerjanya dalam keinginan untuk resign, lawan bicara pastinya akan menenangkan seraya membalasnya dengan makna bersyukur. Lawan bicaranya akan senantiasa mengajak bersyukur dan stop untuk mengeluh.

Itu memang benar dan tepat, namun apakah setiap orang resign cuma hanya gara-gara tidak bersyukur? tidak juga. Semua pasti ada alasan mendasarnya. Resign bukan hanya masalah ingin gaji lebih, ingin hak yang lebih baik dan segala keinginan. Jauh dari itu memang nyatanya ada beberapa alasan yang hanya diketahui oleh seseorang yang ingin resign.

Resign memang suatu jalan, opsi karir dan pilihan mandiri. Disanalah kesadaran, tekad dan kejujuran dipertanyakan. Ketika mengajukan resign, kebohongan harus dijauhkan dan mendekatkan diri dengan kejujuran. Saat pihak kantor atau tempat kerja menerima surat pengunduran diri dan membacanya, reaksi pun beragam.

Ada yang secara halus 'menahan, ada juga yang menerimanya sebagai suatu konsekuensi dalam suatu perusahaan walau bahkan ada pula yang kurang baik meresponnya. 

Memilih keputusan untuk resign bukan berarti lemah, lari atau menyerah. Keluar dari sebuah zona yang menurut setiap orang sudah tidak cocok itu boleh saja. Apa salahnya? itu pilihan bukan? selama kode etik dan etika sudah dipatuhi tentu tidak ada masalah. Tetapi jangan jadikan jalan untuk resign sebagai pelarian tanpa rencana.

Jangan pula menjadikan resign tanpa perhitungan matang sehingga malah menjadi beban yang bertambah terutama dalam finansial yang bergulir layaknya bola salju. 

Resign layaknya pilihan yang harus direncanakan before dan afternya. Perlunya mempertanyakan aspek resign atau tidak harus diperdalam. Seperti "apa alasan utama untuk resign sudah tepat?" atau "Sesudah resign apa rencana berikutnya?" dan bisa juga "Apakah memang benar-benar harus resign? apa sudah tidak bisa diperbaiki lagi?" sehingga tujuan resign bisa dijalankan dan seseorang akan siap tanpa harus menyesal jika sudah resign atau masih berpeluang bertahan dengan pertimbangan yang akan dibicarakan.

Mengingat masa pandemi yang sedang menerjang saat ini, seakan menambah beban yang 'menahan' dalam kebimbangan. Jelas saja, seseorang yang sudah bertekad untuk resign bisa saja pikir-pikir untuk melakukannya.

Kondisi perekonomian, finansial keluarga dan pribadi, lowongan kerja yang tidak sepadan dengan tenaga kerja dan sebagainya akan bertarung melawan tekad untuk resign. Sangat sulit untuk mengambil keputusan bukan? sebagian orang berpendapat seperti itu.

Ketika seseorang berkeluh kesah dan menyampaikan tujuannya untuk resign, kadang Ia mengingat masa pandemi serta masih tidak munafik karena butuh sumber penghidupan dan uang.

Ia menengok kebelakang dan mendapati keluarga kecilnya yang harus dinafkahi. Bahkan terkadang seseorang harus menafkahi keluarganya secara banyak dan maksimal. Kali ini ada dua sisi yang berlawanan beradu dalam keinginan dan pertanyaan sederhana yakni "resign atau tidak ya?".

Lalu yang terjadi? ujung-ujungnya bertahan dengan setengah hati dalam bekerja. Kadang sikap profesional juga tidak bisa berjalan jika dipengaruhi mood dan keinginan resign.

Menjalani aktivitas dari bangun tidur, berkecimpung di rute, transportasi, bekerja dengan lingkungan sekitar sampai dihantam lelah hingga tertidur akan jadi berbeda.

Apakah bisa melawannya ketika bangun tidur saja sudah kepikiran resign? dan itu terjadi setiap hari. Sisi profesional kadang perlu supaya nama baik dan kinerja terlihat bagus. Namun, adakalanya tidak bisa membohongi diri sendiri dan berefek kepada etos kerja.

Lingkungan kerja, rekan kerja dan jam makan siang untuk bercengkrama seakan sudah tidak bisa sepenuhnya menghibur dan memberikan rasa nyaman. Sehingga bekerja hanya bisa setengah hati atau pragmatis karena faktor sekitar sudah tidak bisa satu jiwa.

Bukankah kelihatan menyiksa? tetapi hati yang lain berkata akan lebih menyiksa jika kondisi finansial dan nafkah hancur. Tidak ada yang salah, setiap orang hanya perlu menimang dan menghitung resiko kecil yang akan ditanggung.

Membandingkan resign atau tidak dengan faktor resiko yang kecil adalah cara tepat. Sehingga, tidak akan ada kata serba salah, salah langkah ataupun bingung sendiri.

Diskusikan dengan keluarga, teman dan saudara ataupun orang tua. Bukan melibatkan hanya saja kadang orang terdekat bisa berbagi pengalaman dan bertanya tentang resiko terkecil. Catat dan buat perbandingan pada pola pikir kedepannya.

Satu yang pasti, bekerja setengah hati atau asal jadi juga memiliki kerugian bagi diri sendiri dan perusahaan. Jika ingin resign, mantapkanlah dan perusahaan akan berterima kasih dengan mengganti karyawan yang lebih baik.

Lebih baik sadar diri dan jujur karena perusahaan ingin totalitas bukan hanya ingin sekedarnya. Karena hal terpenting ialah tidak meninggalkan masalah dengan rekan kerja, perusahaan dan lingkungan sekitar. Setidaknya sudah berdedikasi untuk beberapa waktu yang cukup.

Semua opsi terdapat plus-minus, tetapi ukurannya berbeda. Setiap orang berhak mengukur dan menentukan pilihannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun