Mengikuti gagasan BenA, tanpa memperkembangkan aksi, gerakan, atau peristiwa nasionalisme sebagai pilihan dasar yang penting dan mendesak untuk dilaksanakan, akan menjadi lebih sulit untuk menghadirkan komunitas-komunitas terbayangkan demi mudah melupa bahwa melakukan korupsi adalah abai terhadap nilai-nilai tanpa pamrih dan mandiri yang diperlukan seorang patriot. Seorang WNI patriot yang memiliki negara bangsa, tanah air dan bukan sekedar seorang turis.
Cukup jelas bahwa tindak korupsi terjadi akibat berbagai siasat pengabaian atau "penyamaran" - membuat samar-samar, buram, kabur - untuk menangkap dan menghayati "nasionalisme." Dalam bahasa Jawa, hal yang samar-samar itu juga dapat nyamari (membahayakan, mengancam). Boleh jadi, juga, istilah bahasa Inggris "imagined" menjadi tidak mudah untuk diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Kata "imagined" cepat dianggap sama saja dengan kata "imajinasi, khayalan, bayangan, mimpi."
Tiga tahun sesudah peristiwa tragedi Mei 1998 di Jakarta, BenA masih menulis (The Age, 12 Mei 2001) bahwa "masalah yang ada bukan hal kelangkaan demokrasi, tetapi tipisnya gagasan nasionalisme, terutama dalam kalangan orang kaya dan berpendidikan. Indonesia sesudah penggusuran kekuasaan rejim Orde Baru Mei 1998, membutuhkan seorang pemimpin yang jujur, tanpa pamrih. Seorang pemimpin patriotik yang, mandiri dan terbebas dari  diskriminasi primordial kelas sosial, agama, dan ras/suku".
Belum lagi, gara-gara pencekalan BenA selama 27 tahun, buku Imagined Communities (IC) tersebut baru dapat diterjemahkan ke bahasa Indonesia tahun 2001, selama 18 tahun sejak terbit pertama tahun 1983. Padahal, buku IC yang sudah dijual jutaan eksemplar secara global, sampai tahun 2006 sudah diterjemahkan dalam 29 bahasa nasional (baca: "bahasa ibu"), di 33 negara.
Sejak awal dalam buku IC, BenA juga mensyaratkan bahwa imajinasi nasionalisme anti-kolonial hanya dapat efektif berbuah bila saja ada tiga pemangkiran dari: pertama: penggunaan bahasa keramat/suci (yang tidak sulit segera dianggap sama saja dengan kebenaran). Kedua, pemangkiran dari kepercayaan terhadap kuasa keilahian milik sebuah dinasti kekuasaan. Ketiga, pemangkiran dari campur aduk antara mitologi dengan sejarah ilmu pengetahuan tentang asal-mula alam semesta.
BenA juga memahami bahwa maju dan berkembangnya nasionalisme anti-kolonial sejak awal abad ke 20 di Hindia Belanda adalah karena dukungan media kapitalisme cetak (koran, majalah, cerpen, novel, dll.) berbahasa Indonesia  - yang semula juga disebut bahasa Melayu Pasar. Berbahasa nasional Indonesia sebagai lingua franca demi nasionalisme dalam sebuah masyarakat plural Indonesia - dulu Hindia Belanda.Â
Berbahasa Indonesia tidaklah sama dengan keadaan di negara Filipina yang menentukan mempunyai bahasa nasional Tagalog yang sebenarnya hanya salah satu bahasa ibu di pulau Luzon. James Siegel (Sadur, 2009), sejawat BenA di Universitas Cornell, mengatakan bahwa ada dua syarat dan kekuatan sebuah lingua franca dalam sebuah masyarakat plural yaitu: tidak menimbulkan rasa rikuh, dan juga tidak saling menyodorkan cermin di antara para penggunanya.
Seorang WNI yang setia berbahasa nasional(isme) dan berhasil menemukan kenyamanan berimajinasi komunal tentang nasionalisme yang tanpa pamrih dan mandiri, semoga, tidak menjadi rawan dan rapuh di hadapan godaan kenikmatan korupsi. Tak mengherankan bahwa BenA juga dengan yakin berpendapat (Kuasa Kata, 2000, h.420) bahwa "Berbahasa Indonesialah yang menumbuhkan nasionalisme ketimbang nasionalisme yang menjadikan terbentuknya bahasa Indonesia."
#Jogja. Tiga Hari Menjelang Pelantikan Presiden RI
Sumber:Â
http://www.realino.usd.ac.id/realinousd/korupsi-nasionalisme