Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rana Duka Sang Pengayom

3 Januari 2012   03:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:25 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13255604991818133663

Otak siapa yang tak meningitis, meradang, mendidih?. -saat mahasiswamu berteriak sekeras-kerasnya dan kasar-menyebut alat vital kami. Saya rasanya ingin mundur dari lokasi tawuran itu. Tapi ini perintah komandan mengamankan tawuran mahasiswamu. Apa kami harus diam diserapahi begitu?. Kami datang baik-baik, bukan untuk menembak, apalagi untuk membunuh sesama. Mereka yang tawuran, kami yang direpotkan.

Jika kami telat ke TKP, maka sebagian masyarakat akan berkata lantang: "Mana polisi?. Mana Polisi?". Jika kami berada di TKP, mereka memusuhi kami. Lemparan batu mendera tameng kami, bahkan kepala kami dutumpuki lemparan batu, darah menetes. Kami kuat-kuatkan bertahan, bersabar dan bersabar lagi. Jika mereka melakukan perbuatan itu kepada kami, mereka tak pernah dianggap melakukan tindak kekerasan terhadap polisi. Namun jika kami mementung mereka, maka kami pasti dikatakan represif, salah prosedur, pelanggaran HAM.

[caption id="attachment_160785" align="aligncenter" width="600" caption="Tuh... salah satu modus operandi kultur masyarakat yang terbiasa melakukan pelanggaran (Foto: Armand)"][/caption]

Saat kami bertugas di jalan raya, seorang pengendara tak memakai kaca spion, plat nomor kendaraanpun tertanggal satu. Kami menyetopnya, bayangan di otaknya hanyalah wajah kami bergambar rupiah. Maka bukan SIM yang dikeluarkan tapi KTP yang beralamat di sebuah Asrama Polisi di Tello, Panaikang, Makassar. Jujur saja, kami kikuk. Menilangnya sesungguhnya itulah jalan terbaik, namun beberapa menit kemudian, ia akan menyerahkan handphone-nya dan menyuruh kami berbicara dengan ayahnya yang juga seorang polisi. Kudengar suara teman sejawat itu yang berpangkat lebih tinggi dariku. Hanya dua kata yang terucap berulang-ulang: "Siap Dan...!". Anaknyapun kuizinkan -keadaan setengah terpaksa- melanjutkan perjalanannya. Ia dengan ekspresi ketakutan melakukan pelanggaran namun ia dengan bangganya saat kulepaskan, ia tersungging dengan senyuman kemenangan. Sebuah lukisan rana duka sang pengayom.

***

Seseorang berseragam loreng, tanpa helm, mengendarai RX King, gas motornya sengaja diraung-raungkan. Ini pelecehan terhadap kami. Kami memang takut dengan mereka, bukan takut berkelahi tapi takut akan penilaian negatif masyarakat kian bertambah, mengental dan tiada pernah putus bahwa sesama pengayom berkelahi, baku pukul. Contoh yang buruk buat masyarakat.

***

Begitu-itulah amatan saya mewakili perasaan sang pengayom. Kuakui, mayoritas memang polisi kita buruk sifat, jelek perilaku, moral yang kian menipis. Namun dengan OPINI ini saya terpanggil untuk menyuarakan keadilan, kebijaksanaan dan penilaian obyektif serta proporsional. Kucoba untuk mendudukkan peta perilaku, potret kultural di antara kita dan polisi.

Masyarakat memang mencari-cari kelemahan polisi, mencari-cari celah, mencari-cari ruang luas untuk tindakan penyogokan. Maaf, janganlah hanya kami yang dinomorsatukan sebagai aparat yang menyelenggarakan "jasa penyogokan". Di mana-manapun institusi riskan dan telah terjebak dalam pusaran penyuapan kok. Tuh, di Bandara Sultan Hasanuddin, Makassar. Seorang pengunjung bersalaman dengan petugas dan menempelkan uang di telapak tangan sang petugas bandara, iapun lolos dan melenggang masuk membawa sesuatu dan menemui seseorang. Saya gak ngarang, saya saksikan sendiri kok, petugas itu malah tersenyum padaku. Walah walah walah, jika ingin dilakukan riset terhadap upaya penyogokan yang dilakukan masyarakat, gak terhitung jumlahnya deh. Masuk dalam kategori matematika: "Bilangan Tak Terhingga". Bijaklah kawan memosisikan diri. Kita sesama warga negara, sama baiknya dan sama buruknya perilaku kita dalam berbudaya sogok-isme. Segeralah kita auto-correction, saling memeriksa diri, meraba perilaku sendiri sebelum menelisik perilaku Warga Negara Indonesia lainnya.

***

Biarlah, penyogok dan tersogok. Keduanya berpalingan, keduanya akan terjungkal dan merasakan ngerinya tubuh terpanggang akan api neraka yang menyala-nyala. Keduanya akan menyesal memohon ingin kembali ke dunia lagi untuk memperbaiki diri. Bahkan tanpa sadar, mereka ingin menyogok penjaga neraka agar permintaannya kembali ke dunia dikabulkan. Hahahahaha... Terlambat sudah^^^.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun