Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pertarungan Energi Positif vs Energi Negatif

6 Juli 2018   21:05 Diperbarui: 6 Juli 2018   21:11 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: firstrightfiyness.uk,co

SAYA tenggerkan opini ini di Rubrik Kesehatan walau juntrungnya ke soal-soal Humaniora. Manusia dan problematika adalah gejala alamiah sejak dulu kala. Segalanya berpusat pada aspek kejiwaan-kogitif (psiko sosial). Dan, Presiden Kedua Republik Indonesia, mendiang H.M. Soeharto pernah ber-kalimah inspiratif: "Allah memang tak membagi rata soal harta kepada hamba-Nya tetapi Allah membagi rata soal kesedihan dan kebahagiaan". 

Saya membaca kalimat di sebuah surat kabar nasional itu, persis saat-saat saya aktif mengajar dan 'kelewat' belajar keras soal Psikologi Kesehatan di Universitas Sultan Hasanuddin, Makassar-Sulawesi Selatan. 

Pembaca mungkin 'kaget' dengan ucapan religius dari Pak Harto. Untuk merayu pembaca agar memaklumi ucapan Bapak Pembangunan dan "Bapak pencipta keamanan nasional tapi hening" (ucap Anhar Gonggong di sebuah televisi swasta). maka penulis mengingatkan ucapan menasional Pak Harto menjadi Headline di sebuah surat kabar nasional juga, Pak Hato bilang: "Saya ini bibit Muhammadiyah".

***

Psikologi dan Filsafat pernah bersaudara yang akhirnya bersayap menjadi ilmu sepupuan. Kedua ilmu ini "sama gilanya'. Ilmuwan di psikologi, itu juga yang bermain di ilmu filsafat. Tarulah Rene, Plato, Aristoteles dan lain-lain! Tiadakah kita baru tersadar bahwa mengapa psikologi identik dengan penanganan orang-orang 'sakit jiwa?' Tiada pulakah kita kerap berdengung di gendang telinga bahwa filsafat itu pelajaran dan pekerjaan yang rada-rada 'edhane' hingga tokoh-tokoh filsafat kerap digelari sebagai pemikir-pemikir heavy metal. 

Rumpun ilmu-ilmu kesehatan masyarakat-kedokteran-farmasi-psikologi ataukah keperawatan, seluruhnya adalah 'stagnant', tiada yang bergerak dari gejala-gejala penyakit dan health service. Yang bergerak dan bermanuver pada himpunan ilmu medis, public health ada pergerakan teknologi. Dan, itu wilayah teknokrat. Maka orang-orang 'sinting' dari aspek psikologi diterapi juga dengan teknologi. Nah, sebagai prolog saja di artikelku, kali ini. Salam Kompasiana... He he he

Pada beberapa pernyataan yang kudengar bahwa energi negatif itu tak baik. Itu pernyataan tak keliru, hanya kelewat sederhana sebab energi positif tiada akan pernah kuat tanpa energi negatif. Bila dibentangkan pada sisi bipolar maka energi negatif itu 'soal tidak suka' sedang energi positif adalah 'soal suka'. 

Malah, dipersempit lagi telaahnya maka energi positif itu soal cinta, dan energi negatif  'soal tak cinta". Anggap sajalah seorang tetangga mendatangi Anda dan marah-marah oleh karena daun-daun pohon Anda offside, melewati garis kerukunan tetangga, Ini hanya soal daun-daun, bukan batang pohon. Artinya perkara sepele. Melayani tetangga seperti itu dengan berbalik membentak adalah sama 'primitifnya'. Kita malah turun kelas dalam masalah kepengelolaan energi negatif. Di sinilah per-TARUNG-an energi positif vs. energi negatif seperti judul artikelku di atas, tadi! 

Tidaklah kita termasuk dalam 'pemeluk energi positif' jika di tepi sungai ada seekor buaya lapar dan kita tetap ingin berenang dengan argumentasi psikologi bahwa buaya itu, buaya baik tak akan mengganggu manusia. Displacement, tentu! Tiada jugalah kita berhak dituding sebagai fans energi negatif, jika digebuk habis-habisan dan memberi pembelaan fisik. So, energi positif dan energi negatif adalah psychology game. 

Ini satu kesatuan, berdua tak berpisah, bersatu tak menyatu. Perantara dari kedua kutub karakter bawaan manusia ini adalah Angka Nol (0) atau zero. Misal, kita sudah kuat-kuatan untuk murka, namun murka itu batal. Dari ingin murka menjadi murka ter-cancel itu alamiahnya melewati angka nol. Matematika juga mengajarkan itu: Minus-Nol-Plus. Psikologi juga begitu.

Zaman kian bergerak pesat sesampai merambah di zona sosial media. Ya, sosial media, itu hanyalah media, hanya wadah, bukan 'interaksi sungguhan', maya tetaplah maya. Mosok Maya jadi Shinta! Interaksi dunia nyata-dunia maya takkan pernah usai, di sana tergeletak sisi psikologik antar manusia -yang parah psikologiknya- tetiba ada orang 'terpenggal' kemanusiaannya oleh 'drug abuse' ala dunia maya. Dipenjara ataukah keluarga dalam ancaman oleh ucapan-ucapan verbal maupun non verbal pengguna medsos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun