Mohon tunggu...
Muhammad Armand
Muhammad Armand Mohon Tunggu... Dosen - Universitas Sultan Hasanuddin

Penyuka Puisi-Kompasianer of The Year 2015

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jangan Tegur Polantas

30 Januari 2016   14:04 Diperbarui: 31 Januari 2016   00:49 2411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="santa-mars.blogspot.com"][/caption]

Kali pertama penulis saksikan, seorang pengendara motor, menegur polantas (sedang bertugas di jalan raya). Penulis yakini, polantas itu berteman ataukah sahabatan dengan pemotor itu. Apa yang terjadi, pemotor itu menyenggol bokong mobil pengendara lain. Terjatuh dan luka ringan! Dampak dahsyat yang ditimbulkannya adalah super macet di bilangan Baddoka-Biringkanaya-Makassar. Kali kedua, seorang pemobil, menyapa dengan suara agak tinggi, kawan polantasnya. Sang polantas yang sudah kepayahan (keringatan, mata menyempit karena silau terik, seragam juga mulai dibintiki hasil CO2 knalpot), malah marah: "Jalan saja, dak usah bicara!". Itu ketus sang polantas. Penulis sangat memaklumi atas ucapan polantas itu.

Kita boleh sama-sama bekerja, di beragam profesi. Tetapi kita wajib pahami pada tingkatan high-risk sebuah pekerjaan. Kita boleh jadi dosen, guru, wartawan, koki, buruh dan sebagainya. Namun, pekerjaan polantas yang sedang mengatur dengan ketat arus lalu lintas adalah pekerjaan butuh konsentrasi tinggi, butuh fisik yang bugar, energi psikis yang bagus. Karena ini menyangkut keselamatan dirinya dan keselamatan orang banyak (pengendara, pejalan kaki, pesepeda dan lain-lain)

Ada lekatan budaya kita yang memang masih karat-karatan yakni belum bisa membedakan secara sempurna, bersapa-sapaan di sikon yang kurang tepat. Penulis menyukai dalam menelisik budaya ringan-ringan ini, bukan lantaran sedang kuliah antropologi. Penulis memang menggemarinya tanpa kuliah pun! Soal menerobos lampu merah, sepertinya butuh waktu 50 tahunan baru kita bisa minimalisir akan kebiasaan buruk ini. Apakah hanya negeri kita begitu? Oh tidak! Di Hong Kong (lampu aktif menyala dan lonceng berdenting) pun penulis pernah menyaksikannya. Satu dua orang menerobos lampu merah. Bedanya, pengguna jalan lain secara bersamaan meneriaki pelanggar-pelanggar itu. Kalau di Indonesia, manalah kita bisa rame-rame menegurnya. Lah, kita juga pernah melakukannya kok!

Simultan peristiwa ini membuat penulis 'merenung' kemarin (saat sebuah mobil truk menyambar pejalan kaki) sembari mengendarai motor. Apa yang kurenungkan? Ya dua hal: 1) Soal kecelakaan 2) Dampak kecelakaan kepada orang lain. Tarulah itu kecelakaan tak pernah direncanakan tetapi dengan pola mengendara atau pola kita saling menegur di jalan raya adalah hal yang riskan. Malah kerap pengendara lain bermaksud berniat baik, menegur plat nopol yang nyaris jatuh. Tetapi kadang-kadang juga yang ditegur malah kaget dan kemudi motornya tak berhaluan benar lagi.

Penulis hendak berkata bahwa menyapa-menegur-mengingatkan orang lain di jalan raya, juga butuh kecerdasan pengamatan. Karena (lagi-lagi) ini soal ancaman laten kecelakaan yang mengintai kita tiap detik. Lengah sediit, amblas! Nyawa bayarannya! Bila tiada/tak terlalu penting, atau urgent, sebaiknya bicara di jalanan antar pengendara dikurangi. Bilapun mau bicara, tepikan kendaraan, lalu ngobrollah dengan sepuas hati.

Itu mungkin menjadi alasan mengapa kita dilarang bicara kepada sopir, karena akan mengganggu ke-fokus-annya pada jalanan, marka-marka dan juga pandangannya dan pikirannya. Barangkali ini lebay tetapi penulis amat jarang bicara pada sopir ketika menjadi penumpang kecuali perkara penting sekali. Tapi semua terserah pada bentuk penyikapan kita sajalah. Hanya saja, menjadi esensi artikelku pada kawan-kawan yang punya sahabat polantas ataukah paman, tante, ponaan bahkan kakek. Janganlah menyapa mereka saat mereka sedang bertugas di jalanan raya. Dugaanku juga, polantas dilarang bicara dengan pengguna jalan kecuali berhubungan dengan pengaturan lalu lintas. Ya, mungkin!

Artikelku taklah bermaksud menggurui Saudara-saudara atau menasehati kawan-kawan. Ini hanyalah mengingatkan saja, karena saling mengingatkan dalam wujud apa saja, biasanya lebih baik, demi humanism! Pikir-pikirlah bila gerakan tangan polantas berubah (tak sesuai prosedur) akibat sapaan/teguran kita. Itu sangat berpotensi di-multi interpretasi oleh pengguna jalan hingga terjadi kecelakaan kecil, termasuk kemacetan. Dan menurutku, kemacetan juga termasuk 'kecelakaan' dan itu terjadi setiap pagi-siang dan sore. Jangan kita menambah-nambah 'kecelakaan' lagi akibat ulah kita yang kurang penting itu.

Sebab kecelakaan atau kemacetan rela tak rela, berbayar sosial tinggi, melipatgandakan ketegangan psikis dan juga penantian yang tak menentu, tak menetap kapan kemacaten ini berakhir. Bisalah dibayangkan bila seseorang harus tepat waktu di rumahsakit, di sekolah, di kantor, di tempat jualan ataukah pada sebuah acara keluarga. Tetapi karena kemacetan, jadilah semua molor. Dan ada satu budaya yang menggelitik, tak sedikit orang menggunakan alasan macet untuk sebuah keterlambatan yang disengaja. Semoga bukan Anda! Ha ha ha

--------
Makassar, 30 Juni 2016
Salam Kompasiana
@m_armand

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun