Mohon tunggu...
Arsyad Maulana
Arsyad Maulana Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti dan mahasiswa Ph.D di UST, Korea Selatan

Menyukai banyak hal, termasuk matematika, sains, komputer, filsafat, agama, dsb. Belajar sepanjang hayat demi bisa membaca seluruh realita yang diciptakan-Nya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sandiwara Harmoni

5 Februari 2023   11:30 Diperbarui: 5 Februari 2023   12:13 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kakarotti/deviantart.com

Saat lagu pertama dilantunkan, ribuan wajah anonim menari dengan gembira di dalam periode semesta yang berirama. Saat irama berubah, itu adalah pertanda bahwa ribuan wajah itu akan bertebaran di dunia. Para anonim bersembunyi di balik peradaban-peradaban dan menanam benih suara. Mereka menguntit tokoh-tokoh utama dan figuran peradaban untuk memanen irama. Irama peradaban yang mereka nanti-nantikan pasti akan seindah lagu yang dilantunkan Ibunda. Mereka bermimpi untuk memamerkan lagu yang mereka bawa.

Setelah ribuan tahun, ribuan wajah kembali ke tempat asalnya. Ribuan wajah riang gembira kini berubah menjadi ribuan wajah lesu dan berkesedihan. Anonim pertama berkata kepada waktu, "Kenapa manusia harus hidup, Ibunda?" Ia lesu. "Jika pada akhirnya mereka meninggalkan dunia." lanjutnya. Lalu ia memberikan hasil panennya.

"Semuanya sama saja, Ibunda. Tak ada yang menemani hingga akhir." Anonim kedua meletakkan hasil panennya. "Hidup mereka terlalu singkat untuk menjadi bagian dari lagu semesta."

"Untuk alasan apa mereka harus hidup, Ibunda?" kata anonim keseratus. "Jika mereka menghidupi kehidupan monoton yang membosankan." Ia meletakkan hasil panennya.

"Kenapa peradaban harus berdiri, Ibunda?" kata anonim kelima ratus. "Jika mereka kau gulingkan begitu saja." lanjutnya, lalu meletakkan hasil panennya. "Bahkan hingga tak bersisa."

"Kenapa harus manusia, Ibunda?" kata anonim keseribu. "Jika mereka hanya hidup sesukanya tanpa harmoni seindah dirimu." Ia meletakkan hasil panennya. "Mereka takkan melantunkan irama seindah Ode Para Bintang. Semestinya kita melantunkan melodi-melodi bintang saja hingga semesta mencapai ujungnya."

"Kurasa, keberadaan yang akan saling menumpahkan darah tak semestinya ada, Ibunda. Mereka bahkan tahu menumpahkan darah hanyalah membawa kesedihan. Mereka tidaklah berharga. Keberadaan yang penuh paradoks." Kata anonim kedua ribu, meletakkan hasil panennya. "Kau masih bisa membatalkan mereka. Cukuplah kami yang selalu mengiringi ode-ode semestamu."

Ribuan wajah mengunjungi manusia dengan raut serupa. Mereka pun kembali dengan raut-raut yang sama. Anak-anak waktu sadar bahwa sejatinya mereka satu dan sama. Ribuan wajah kembar yang baru akan terpisah setelah percabangan kemungkinan yang dibentuk oleh kehidupan manusia, dengan harapan membawa irama. Namun, mereka belum sadar bahwa apa yang mereka bawa bukanlah irama, melainkan nada.

Saat cabang-cabang dunia kembali ke satu titik, sang waktu kembali melantunkan lagunya dengan nada-nada monoton itu, yang panjang, yang pendek, yang tinggi, yang rendah, yang teratur, yang kacau, yang ia rangkai menjadi suatu irama yang siklik. "Inilah lagu yang kalian bawa, irama yang dihasilkan dari peradaban. Mari kita menyanyikannya bersama: Ode Manusia."

Para anonim, ribuan wajah, kembali menjadi satu padu, menyatu, mengalir bersama waktu, menyanyikan Ode Manusia bersama. Iramanya memang periodik, layaknya semua irama. Tak berbeda dengan Ode Para Bintang atau ode-ode semesta lainnya, membentuk harmoni.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun