Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Istriku Selingkuh?

14 Desember 2019   13:41 Diperbarui: 14 Desember 2019   16:20 4118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - Intisari online Grid-ID

Tadi siang, seorang tetangga yang memiliki kebun di sebelah utara kebun saya, menghampiri saat istirahat di dangau.

Tetangga kebun itu menanyakan persediaan air minum yang saya bawa, apa masih ada, atawa sudah habis -- karena akunya kalau persediaan air minumnya sendiri kebetulan sudah habis.

Dengan senang hati saya mempersilahkannya untuk mengambil sendiri air minum dalam galon yang kami bawa dari rumah. Maklum karena pekerjaan di kebun saya dibantu oleh beberapa orang yang kami upah. Sehingga persediaan makanan dan air minum pun harus ekstralebih dari biasanya.

Sementara tetangga kebun saya itu tampaknya hanya membawa persediaan air minumnya di dalam satu botol kemasan satu literan saja. Dan digunakan hanya oleh dirinya sendiri.

Hal itu pula yang membuat saya keheranan. Tidak biasanya tetangga saya itu bercocok tanam sendirian saja. Karena sebelum-sebelumnya saya selalu melihat selain bersama istrinya, juga selalu mengajak  orang lain yang diupahnya.

Memang sebagaimana biasa, seiring tibanya musim hujan, warga di kampung kami beramai-ramai mengolah kebun masing-masing untuk ditanami palawija.

Adapun jenis palawija yang lazim ditanam, antara lain jenis kacang-kacangan, jagung, dan lain-lainnya, yang berusia pendek, sehingga bila nanti tiba musim kemarau sudah dapat dipanen.

Oleh karena itu jangan heran, bila tiba musim hujan, maka sejak pagi hingga sore, kampung kami akan tampak sepi. Penghuninya kebanyakan pergi ke kebun masing-masing. Untuk bercocok tanam. Sementara yang tampak di perkampungan haya anak-anak dan orang tua yang sudah jompo saja.

Setelah menghabiskan beberapa teguk air, tampak tetangga saya itu menghela napas panjang. Matanya jauh menerawang. Entah apa yang sedang ia pikirkan.

Saya pun menawarinya rokok kretek yang biasa disediakan untuk orang yang bekerja. Tapi dengan halus ia menampiknya. Katanya sudah setahun ini berhenti mengisap rokok.

"Mengapa hanya sendirian saja, kemana istrinya?" tanya saya sejurus kemudian.

Sesaat ia menatap mata saya dengan sorot yang kurang bersemangat. Lalu kembali berpaling, da menerawang ke arah bukit di kejauhan.

Sepi mengoyak dangau tempat kami berada. Sementara orang yang sedang menanam biji-bijian di kebun saya masih sibuk dengan pekerjaannya. Dan jaraknya sekira dua ratusan meter dari dangau.

"Rumah tangga kami sedang bermasalah, Kang," katanya tiba-tiba, serupa keluhan.

"Apa masalahnya?"

Ia tak segera menjawabnya. Justru malah menatap saya lekat-lekat.

"Tapi tolong sebelumnya. Persoalan ini cukup Akang saja yang tahu..." ujarnya kemudian dalam nada yang kental dengan permohonan.

"Oke. Tapi memangnya ada masalah apa?"

"Istri saya ketahuan beselingkuh, Kang," cetusnya dengan bibir bergetar.

Mendengar pengakuannya, saya merasa kurang percaya. Bagaimanapun usia tetangga saya itu tidak jauh beda dengan saya. Demikian juga rumah tangganya pun sama-sama sudah cukup lama. 

Kami berdua sudah sama-sama memiliki banyak cucu. Hanya bedanya mungkin dari jumlahnya saja. Kalau saya sampai sekarang ini sudah dikaruniai lima orang cucu dari tiga anak kami. Sedangkan tetangga saya baru memiliki cucu dua dari anaknya yang sulung.

Usia saya dengannya pun sama sudah berkepala enam. Hanya mungkin yang menjadi pembedanya adalah usia istri kami berdua. Usia istri saya dengan saya sendiri hanya berselisih empat tahun, sementara usia istrinya dengan tetangga saya itu berbeda agak jauh memang. Kalau tidak salah bedanya sekitar 15 tahunan. Walhasil sekarang ini usia istrinya kira-kira 45 tahun.

Apa mungkin setua itu masih melakukan perselingkuhan. Bermain api dengan lelaki selain suaminya sendiri?

"Ah, yang benar saja, Mang (Saya memanggilnya demikian, sebagaimana anak-anak biasa memanggil kepadanya). Masa sudah punya dua orang cucu berselingkuh?"

"memang saya sendiri awalnya tidak percaya dengan gunjingan sanak-saudara saya itu. Hanya saja ketika tengah malam saya terbangun, untuk menunaikan salat malam sebagaimana biasa, saya mendapati istri sayatidak ada tidur di samping saya.

Mungkin sudah bangun terlebih dahulu, pikir saya saat itu. Saya pun turun dari tempat tidur, dan langsung keluar dari kamar menuju dapur. 

Maksudnya akan mengambil air wudu di kamar mandi. Akan tetapi saat lewat di kamar tempat biasa kami menunaikan salat, yang letaknya dekat ruang makan, saya mendengar istri saya seperti sedang berbicara dengan seseorang.

Meskipun suaranya seperti setengah tertahan, namun karena suasana malam yang sepi, telinga saya dapat dengan jelas mendengarnya. Terlebih lagi pintu kamarnya setengah terbuka.

Maka saya pun mencoba mencari tahu dengan mengintipnya dari balik pintu. Rupanya ia sedang bicara dengan seseorang lewat tilpon. Siapa orangnya di tengah malam ini yang berani menelponnya?

Saya merasa penasaran. Dan dari yang dikatakan istri saya, saya jelas mendengar seperti sedang janjian untuk mengadakan suatu pertemuan dengan lawan bicaranya. Hanya saja dari nada bicaranya, apa yang diucapkan istri saya terdengar sedemikian mesranya. Sebagaimana kalau sedang berduaan dengan saya.

Saya menebak-nebak, mencari tahu siapa lawan bicaranya itu. Tapi selama saya mengupingnya, saya tidak dapat mengetahuinya sama sekali. Sungguh. Hanya saja kecemburuan dalam dada terasa begitu menggelegak.

Ingin rasanya saya menghampiri istri saya. Untuk menanyakan siapa lawan bicaranya. Akan tetapi untunglah saya masih memiliki kesadaran. Diam-diam saya beranjak menuju kamar mandi.

Selesai berwudlu saya langsung menuju kamar tempat kami menunaikan salat. Saya temukan istri saya sedang duduk sambil membaca Al Quran.

Sajadah saya hamparkan di depannya. Lalu saya tunaikan salat malam, seraya memohon doa agar hati saya diberi ketabahan.

Esok paginya, seusai salat Subuh, istri saya sedang mempersiapkan sarapan di dapur. Sementara saya diam-diam membuka handphone miliknya yang tergeletak di atas bantal. Sungguh. Baru sekali itu saya berani memegang hape istri saya. Karena terdorong rasa penasaran, ingin mengetahui dengan siapa ia bicara tadi malam.

Saya pun merasa kaget dibuatnya nomor terakhir yang masuk adalah nomor seseorang yang saya kenal. Malahan yang lebih kaget lagi, ada beberapa pesan pendek dari orang itu yang isinya sangat pribadi. Dan arahnya apa lagi kalau antara keduanya ada jalinan hubungan spesial."

"Siapa lelaki itu?" saya pun menjadi penasaran dibuatnya.

"Ternyata orang pintar yang pernah kami datangi..." sahutnya lesu.

"Apa tindakanmu selanjutnya setelah mengetahui hal itu?"

"Saya tidak bertindak apa-apa. Tetap bersikap seperti biasa. Karena ingin mengetahui lebih jelas lagi. Paling tidak skandal itu ingin didengar dan dilihat  oleh saya sendiri.

Hari menjelang siang, saya berpura-pura berangkat ke kebun. Sementara istri saya sebagaimana biasa berangkat ke sekolah tempatnya mengajar. Setelah agak jauh, diam-diam saya menguntitnya dari belakang.

Memang ia masuk ke sekolah hari itu. Tapi saya tetap mengawasinya dari kejauhan. Dan dari tempat yang tersembunyi.

Begitu terdengar bunyi bel tanda istirahat, tak berapa lama tampak istri saya berdiri di gerbang sekolah. Matanya kelihatan seperti sedang mencari sesuatu. 

Selang beberap menit kemudian muncul sepeda motor yang dikendarai orang pintar yang kami kenal itu. Sesaat keduanya kelihatan berbicara, lalu istri saya naik di belakang sepeda motor yang dikendarai lelaki itu. keduanya berboncengan menuju arah kota kabupaten.

Saya pun tak tinggal diam. Diam-diam saya mengikutinya.

Kecurigaan saya pun terbukti. Ketika tiba di batas kota, keduanya masuk sebuah hotel kelas melati. Ah, saya tak kuasa lagi menceritakan peristiwa selanjutnya, Kang..." Dia langsung tertunduk.

Saya menghela nafas. Tiba-tiba ia mengangkat wajahnya. Menatap saya lekat-lekat.

"Kenapa istri saya berselingkuh, Kang?"

Sesaat saya tak mampu berkata apa-apa. Sekan ikut larut dengan apa yang ia rasakan.

"Barangkali ada hal yang kurang darimu, Mang," kata saya sejurus kemudian.

"Maksudnya?"

"Siapa tahu nafkah yang kamu berikan dianggap belum cukup," jawab saya.

"Meskipun saya bukan pegawai negeri seperti dirinya, tetapi Akang sendiri tahu, saya saban hari membanting tulang. Bertani, dan kadang-kadang mencari sampingan dari jual-beli barang. Sepertinya penghasilan kami berimbang saban bulannya."

"Maksud saya, nafkah bathin. Memenuhi kebutuhannya di ranjang," saya menjelaskan.

Sesaat dia ketawa. Lalu, "Soal itu juga rasanya saya masih mampu, Kang. Apa lagi setelah diberi resep bawang putih oleh Akang setahun lalu. Sampai sekarang saya masih rutin mengkonsumsinya. Rasanya saya tidak kalah oleh anak muda," sahutnya agak jumawa.

Saya jadi bingung sendiri karenanya.

"Bagaimana komunikasi dengan istri sehari-hari?"  tanya saya sesaat kemudian.

Dia terdiam. Matanya menerawang. Saya menatapnya dalam-dalam.

"Sudah enam bulan ini saya sibuk dengan urusan pembangunan di desa (Ia memang terlibat sebagai pengurus lembaga pemberdayaan masyarakat di desa kami). Akang sendiri tahu, setelah adanya Dana Desa, kami ikut sibuk dibuatnya. Sehingga komunikasi dengan keluarga memang jadi berkurang..."

"Nah, itu dia akar permasalahannya..." kata saya seakan merasa girang setelah menemukan jawaban suatu teka-teki.

"Tapi kenapa harus dengan orang pintar itu, Kang?"

"Kalau itu sepertinya  harus diselidiki lebih jauh lagi..." ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun