Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Sang Pejantan" Itu Akhirnya Tumbang Juga

20 November 2019   19:21 Diperbarui: 20 November 2019   19:20 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Islamidia.com)

Saat pertama kali mendengar sebutan itu, selain merasa ganjil kedengarannya, saya pun merasa tak habis pikir. Sampai sebegitunya orang-orang memberikan julukan bak kepada binatang sahaja.

Betapa tidak. Di kampung kami, selain dikenal sebagai guru agama di sekolah dasar, ia pun dikenal sebagai ustadz juga. Pendakwah di majelis taklim. Akan tetapi di balik predikat 'terhormat' itu, diam-diam warga pun menjulukinya sebagai pejantan tangguh.

Sungguh kontradiktif memang.

Saya sendiri mengetahui duduk perkara julukan tersebut, yakni pada saat ia meninggal dunia.

Sebagai orang yang sama-sama aktif di lembaga kemasyarakatan desa, ketika itu saya menyempatkan untuk takziyah melayat ke rumahnya yang hanya berbeda kampung saja.

Malahan di saat ia dirawat di rumah sakit pun pernah juga ikut menengoknya. Memang sebelumnya Pak Ustadz itu menderita komplikasi beberapa penyakit. Sebagaimana dijelaskan dokter yang merawatnya.

Terkait keterangan dokter, saya sendiri sebetulnya mafhum juga. Kalau tidak salah, enam bulan sebelum meninggal dunia, setiap bertemu seringkali mengeluh sakit. Kalau tidak sakit pinggang, di lain waktu mengeluh sakit kepala. Terkadang juga merasa sakit perut. Sebagai orang awam, saya hanya menganjurkannya untuk banyak-banyak minum air putih.

Akan tetapi empat bulan kemudian, dikabarkan dia masuk rumah sakit. Artinya dua bulan sebelum meninggal dunia.  Sakitnya semakin parah.

Hingga ahirnya malakal maut pun menjempunya juga.

Nah, di saat saya melayat itulah, saya menangkap suasana yang sungguh-sungguh mengherankan. Dua orang perempuan, bukan saudaranya, apa lagi istrinya, tampak menangis tersedu-sedu seperti orang yang begitu sangat kehilangan. Sementara istrinya sendiri, saya lihat begitu tabah. Hanya sekali-kali saja ia menitikkan air mata yang segera disekanya dengan ujung jilbabnya.

Untuk mendapat jawaban dari keheranan itu, saya pun pamitan. Untuk berkumpul dengan orang-orang yang telah berkerumun di halaman.

Lalu saya mendekati seorang kenalan, tetangga almarhum juga. Dengan berbisik-bisik, saya menanyakan keberadaan dua perempuan yang sedang menangis di dalam rumah duka.

Mendengar pertanyaan saya itu bukannya menjawab, dia malahan tertawa agak ditahan. Maklum banyak orang di sekitar kami yang sedang turut berduka cita, tentu saja. Kemudian dia berdiri sambil menggamit tangan saya. Saya pun paham. Dia mengajak saya untuk menjauh dari kerumunan orang-orang.

Di samping rumah yang sepi, dia mengajak saya untuk berjongkok. Sekalian sambil merokok.

"Akang ingin tahu kenapa Bu Salmah (samaran) dan Teh Nani (samaran) seperti merasa begitu kehilangan almarhum?" tanyanya. Saya pun mengangguk.

Sebelum berkata, ia kembali tertawa. "Karena sudah pasti tidak bakal ada lagi lelaki yang menghangatkan ranjangnya lagi. Kedua perempuan itu sudah menganggap almarhum sebagai suaminya yang kedua bagi mereka. Karena suaminya yang sah selama ini sudah tidak berfungsi lagi. Alias impoten."

Saya menatapnya tidak percaya. "Yang benar. Kamu jangan mengarang. Jaman sekarang itu hoax namanya. Apa lagi sama guru agama dan ustadz. Jangan-jangan kamu sedang menyebar fitnah?!"

"Kalau tidak percaya, tanya saja teman-teman saya yang rumahnya di sekitar sini."

Kebetulan saat itu ada dua orang tetangga teman bicara saya yang lewat di depan kami. Ia pun memanggilnya.

"Si Akang ini sepertinya tidak percaya kalau almarhum.." dia berbisik kepada orang yang tadi dipanggilnya.

Kedua orang itu pun tetawa dengan agak ditahan. "Betul, Kang. Itu tidak salah. Kalau ingin tahu cerita lengkapnya, kapan-kapan kita ngobrol secara panjang-lebar. Sekalian sambil main ke rumah saya," katanya memberi peluang kepada saya yang selalu ingin tahu ini.

O iya, saya ingat. Ketika masih sehat, beberapa kali Pak Ustadz pernah menawari saya "obat kuat" berupa kopi dengan kemasan sachet. Ketika itu ia pun mengaku sebagai agen penjualan di daerah kami. Para pelanggannya kebanyakan rekan-rekan gurunya.

"Kopi ini cespleng, Kang. Membuat kembali 'greng' yang sudah loyo sekalipun," ungkapnya bak tukang obat profesional.

"Buat Akang boleh gratis. Biar dicoba dulu. Nah, kalau sudah terasa khasiatnya, baru bayar."

Akan tetapi saya sama sekali tidak merasa tertarik. Tak pernah terbersit untuk mencobanya. Apa lagi ketika memeriksa kemasannya, ada kecurigaan dalam hati. Produk yang ia tawarkan, saya menduga sebagai obat ilegal. Nomor seri BPOM yang tertera sepertinya palsu.

Nah, bisa jadi keterangan yang disampaikan tetangganya dengan kopi 'obat kuat' yang perdagangkannya itu ada benang merahnya.

Sebagaimana penjelasan tetangga almarhum yang saya temui beberapa minggu kemudian.

Bukan satu dua orang saja yang pernah memergokinya. Bahkan boleh dibilang sudah menjadi rahasia umum di kampung mereka, bahwa pak guru, juga pak ustadz itu selalu menjadi kuda jantan bagi kedua ibu-ibu tetangganya. Di saat suami mereka sedang ke kota, tentu saja.

Karena sebagaimana kebanyakan kaum lelaki di kampung kami, banyak yang mencari nafkah di kota-kota besar. Ada yang jadi pedagang makanan, tukang kridit, atawa juga sebagai buruh bangunan.

Sehingga kemungkinan besar, selain sering ditinggal suami, 'senjata' suaminya pun barangkali sudah tidak berfungsi lagi. Sampai akhirnya, apa boleh buat pinjam 'senjata' tetangganya.

Hanya saja fatal akibatnya bagi sang pejantan itu. Bisa jadi karena terlalu banyak mengonsumsi obat kuat jenis kopi ginseng, meskipun usianya masih terbilang muda, ahirnya harus segera dijemput malakalmaut juga. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun