Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Jokowi Harus Tegas terhadap Koruptor Dana Desa

8 November 2019   18:54 Diperbarui: 8 November 2019   19:51 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: Tribunnews.com)

Desa siluman yang dipopulerkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, belakangan ini menjadi bahan perbincangan di ranah publik. Ada ya di Indonesia ini Desa Siluman.  

Bukan. Bukan desa siluman dalam arti yang sesungguhnya. Maksudnya desa yang penduduknya makhluk halus yang tidak kasat mata, dan sering menjelma sebagai manusia. Sementara dalam konteks yang diperbincangan sekarang ini adalah desa fiktif yang diduga mendapat kucuran Dana Desa.

Ya, Dana Desa  adalah dana yang bersumber dari APBN yang diperuntukkan bagi desa yang ditransfer melalui anggaran belanja daerah kabupaten/kota. Sementara penggunaannya untuk membiayai pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan perberdayaan masyarakat.

Adapun program Dana Desa tersebut mulai diimplementasikan sejak 2015 oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Besaran dana yang dialokasikan dari tahun ke tahun ditargetkan terus meningkat.

Sebagaimana tercatat pada 2015, Dana Desa yang dikucurkan untuk seluruh desa di Indonesia sebanyak 74.597 desa ini nilainya sebesar Rp 20,8 triliun.

Kemudian di tahun 2016 sebesar Rp 46,7 triliun, 2017 senilai Rp 59,8 triliun, lalu tahun 2018 berjumlah 59,9 triliun. Sedangkan pada tahun 2019 ini meningkat lebih besar lagi, yakni sebesar Rp 70 triliun. Bahkan untuk tahun 2020 mendatang, dalam RAPBN di rencanakan menjadi Rp 72 triliun.

Dengan munculnya isu "desa siluman", semakin mempertegas belum maksimalnya tata kelola yang dilakukan pemerintah pusat  terhadap pengucuran Dana Desa tersebut.

Data di lapangan yang menunjukan adanya penyelewengan, baik berupa penggelembungan anggaran maupun proyek pembangunan fiktif, masih tetap banyak ditemukan.

Malahan praktik-praktik korupsi yang dilakukan pihak terkait, baik kepala desa dengan aparatnya, maupun para pelaksana kegiatan pembangunannya itu sendiri yang menggunakan Dana Desa, bila dibandingkan antara yang telah diproses dengan hukum yang berlaku dengan yang tidak tersentuh, sepertinya lebih banyak lagi yang tidak.

Bahkan terkesan ada pembiaran. Sehingga dengan demikian dari tahun ke tahun penyelewengan pun terus berjalan juga.

Sebagai salah satu contoh, di salah satu Desa, di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Selama tiga tahun terahir ini, warga selalu saja menemukan keganjilan di dalam penggunaan Dana Desa tersebut.

Mereka memiliki dugaan kuat jika dalam penggunaan anggaran pembangunan, ada penggelembungan untuk diselewengkan demi keuntungan pribadi.  

Dugaan warga pun terbukti dengan pengakuan Kepala Desa yang menggembalikan anggaran yang telah ditilepnya. Hanya saja hingga saat ini, belum ada warga yang sampai melaporkannya kepada pihak penegak hukum, maupun langsung kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Bisa jadi hal tersebut disebabkan oleh SDM warga sendiri yang masih rendah, ditambah oleh watak permisif, yang merasa tidak tega apabila sampai oknum yang melakukan penyelewengan itu diproses secara hukum. Sehingga begitu jelas adanya pembiaran terhadap perilaku korup tersebut.

Selain itu ada juga dari warga yang merasa takut oleh orang-orang di belakang (backing) kepala desa. Sebagaimana yang terjadi di suatu Desa di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Ketika warga menanyakan pembentukan TPK (Tim Pelaksana Kegiatan) yang disinyalir terdiri dari para pendukung kepla desa saat Pilkades, warga mendapat jawaban dari pihak pemerintah desa, katanya sebagai 'pengamanan'.

Padahal warga yang awam sekalipun memiliki dugaan kuat dengan pelaksanaan pembangunan sebuah balai kampung di salah satu kedusunan di Desa tersebut misalnya, ada penyelewengan untuk pribadi dan kelompoknya.

Betapa tidak, dari anggaran sebesar Rp 87 juta dari Dana Desa itu  yang diterapkan paling-paling hanya setengahnya saja.

Karena yang namanya bangunan balai kampung itu ternyata hanyalah sebuah pangggung terbuka berukuran sekitar 5 x 4 meter di halaman gedung madrasah diniyah,  ditambah atap terbuka juga dengan bahan baja ringan.

Sehingga meskipun menteri dan wakil menteri Desa PDTT berteriak-teriak agar memelototi penggunaan Dana Desa, dan melaporkannya apabila ditemukan ada penyelewengan, namun karena SDM warga yang masih rendah, dan memiliki watak permisif, maka praktik korup pun akan tetap berlangsung secara aman dan nyaman.

Mengingat hal itu pemerintah pusat melalui Kemendes PDTT sudah bukan saatnya lagi untuk menunggu bola, melainkan harus terjun langsung, dengan membentuk tim yang terdiri dari berbagai unsur, termasuk dari Polri, kejaksaan, dan KPK.

Bagaimanapun apabila hal tersebut tetap berjalan seperti sekarang ini, dikhawatirkan penyelewengan Dana Desa akan semakin merajalela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun