Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ritual Minum Air Cucian Kaki Ibu untuk Mendapat Berkah Kehidupan

1 Januari 2018   21:46 Diperbarui: 1 Januari 2018   21:47 27432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: negaraislam.net)

Beberapa hari lalu, saya datang ke kantor kecamatan. Maksudnya untuk mengganti KTP elektronik yang hilang. Di ruang tunggu, tiba-tiba saya ditegur seseorang yang tidak kenal. Saya menaksir usianya sepertinya sebaya dengan saya. Hanya bedanya mungkin dari penampilan yang berpakaian necis, dan rambut di kepalanya belum beruban seluruhnya.

Sesaat saya hanya menatap wajahnya saja sambil bertanya-tanya dalam hati. Sementara orang yang berdiri di depan saya itu, selain menatap akrab ke arah saya, senyumannya pun masih tetap terkembang penuh arti. Tetapi kalau melihat gaya, dan suaranya rasa-rasanya puluhan tahun lalu saya pernah mengenalnya.

Aha! Tidak salah lagi. Sebuah nama muncul dalam ingatan. Dan saat saya sebut nama itu, orang di depan saya pun langsung mengangguk seraya merangkul saya. Kami pun sesaat berangkulan penuh kerinduan, tanpa menghiraukan lagi tatapan orang-orang di ruang tunggu, tempat kami berada saat itu.

Orang yang saya temui di ruang tunggu kantor kecamatan hari itu, adalah teman akrab saya ketika duduk di bangku SMA 30 tahun yang lalu. Teman yang satu ini dikenal paling nakal saat itu. Di sekolah dia seringkali mendapat hukuman dari guru atas kenakalannya itu. Bahkan di luar beberapa kali pernah juga berurusan dengan polisi. Selain kena tilang di jalan karena surat-surat sepeda motornya tidak lengkap, teman saya itu pernah juga masuk sel tahanan gara-gara memalak pemilik toko di pasar. Tidak hanya sekali itu saja dia masuk sel tahanan polisi. Kalau tidak salah, selama tiga tahun kami bersama, mungkin sampai sepuluh kali Kebanyakan kasus yang menjeratnya adalah masalah tawuran dengan anak sekolah lain. Sementara kasusnya yang paling parah, saat membongkar rumah saudaranya sendiri.

Meskipun yang menjadi korbannya adalah masih saudara sepupunya, tetapi bisa jadi saat itu saudara sepupunya, dan semua keluarganya sudah merasa kesal, dan tidak bisa mengatasi lagi aksi kenakalan teman saya itu yang memang sudah dianggap keterlaluan. Sehingga masalah itu pun dilaporkan kepada pihak kepolisian. Hanya saja kasus itu pun tidak sampai ke tingkat pengadilan. Ketika kasus itu dilimpahkan pihak kepolisian ke pihak kejaksaan, entah mengapa teman saya pun bisa menghirup udara bebas kembali.

"Meskipun rambutmu sudah putih semua, dan sudah berkaca mata, tapi aku sendiri tetap merasa mengenalmu saat melihatmu lewat di depanku tadi. Penampilanmu yang bercelana jean, berkaos oblong, dan bersendal jepit butut itulah yang membuatku merasa tak asing lagi dengan dirimu," celotehnya.

Karena merasa kurang nyaman  ngobrol di tengah banyak orang, maka saat itu kami menuju kantin yang terletak di belakang kantor kecamatan. Kebetulan suasananya sedang sepi, karena mungkin belum tiba waktu istirahat. Sehingga kami pun merasa leluasa ngobrol ngalor-ngidul, bernostalgia mengenang masa lalu. Tak lupa juga, saling bertanya punya anak berapa, bekerja atawa menjalani usaha apa, dan sebagainya dan seterusnya.

Nah, karena melihat penampilannya yang rapi dan necis, serta sedikit berwibawa, maka saya pun mencari tahu perubahan yang jauh berbeda saat kami bersama di masa remaja di masa yang lalu. Malahan sambil menggodanya, saya pun bertanya, "Apa masih nakal seperti dulu?"

Kemudian dia pun berkisah pada saya tentang dirinya.

Setamat SMA, dia nekad pergi ke Jakarta. Alasan yang disampaikan kepada orang tuanya, untuk melanjutkan kuliah di sana. Memang benar, dia bisa diterima di salah satu perguruan tinggi swasta. Hanya saja setelah jauh dari orang tua, kenakalannya malah semakin menjadi-jadi saja. Ketika itu, akunya,  dia bergabung dengan kelompok preman yang sudah dikenal luas karena aksi-aksinya yang brutal dan cukup menakutkan.

Dari pergaulan di lingkungan preman itu juga ahirnya dia direkrut sebagai tangan kanan kepercayaan seorang pengusaha kakap.  Sehingga sejak itu pula dia meminta orang tuanya untuk tidak lagi mengirim biaya. Malah sebaliknya justru dia sendiri yang saban bulan selalu mengirim uang kepada orang tuanya.

Akan tetapi ketika suatu hari dia pulang mudik ke kampung halaman, kedua orang tuanya ternyata mengembalikan uang yang saban bulan dikirimkannya. Dengan tegas saat itu ayahnya berkata, "Meskipun kami memang butuh uang, tapi kami tidak mau menggunakan dan memakan uang kirimanmu itu. Bathin ayah berkata, bahwa uang kirimanmu itu adalah uang haram!"

Meskipun dirinya sampai meyakinkan kalau memang benar anggapan orang tuanya demikian, dan dia berani menanggung dosanya tanpa melibatkan kedua orang tuanya, namun ayah dan ibunya tetap bergeming. Bersikeras menolak untuk menerimanya.

Dengan penuh rasa kecewa, ia pun kembali ke Jakarta. Hatinya bimbang. Langkahnya menjadi limbung tak tentu arah. Sementara kehidupan tetap harus berjalan.  Dalam keadaan demikian, dirinya pergi kepada orang pintar yang menjadi kepercayaan majikannya.

Oleh orang pintar itu, dikatakan bahwa kalau ingin mendapat keberkahan dalam hidup, maka selain bertobat kepada Tuhan, juga harus meminta maaf kepada kedua orang tua atas segala perbuatan yang telah mengecewakan, dan menyakiti hati mereka.

Adapun cara yang paling baik, kata orang pintar itu, selain mencium kaki kedua orang tuanya, dia pun disuruh untuk membasuh kedua telapak kaki ibunya dengan hati penuh kesadaran, dan keikhlasan. Karena bagaimana pun surga ada di telapak kaki ibu. Ridla Tuhan, adalah ridlanya ibu juga.

"Alhamdulillah, setelah melaksanakan petunjuk orang pintar itu, hidupku menjadi tenang dan nyaman. Kehidupanku pun sudah cukup mapan. Anak-anak tak seorang pun yang berkelakuan seperti aku pada waktu itu," akunya.

Kisah teman saya tersebut, sampai sekarang masih juga mengganggu pikiran. Bagaimanapun saya sendiri merasa begitu banyak membuat kecewa, dan melukai hati kedua orang tua. Terutama Ibu, tentu saja. Hanya saja sekarang ini kedua orang tua saya sudah tiada lagi. Ayah dan Ibu telah lama meninggal dunia. Dan saya tak bisa lagi mencium kaki mereka, juga tak pernah sempat meminum air yang dibasuhkan pada telapak kaki Ibu. Seperti teman saya itu.

Untunglah ketika selesai shalat Maghrib berjama'ah di masjid, saya diajak mampir ke rumah imam, Kiai Hasan, yang juga sesepuh di kampung kami. Sehingga saat itu saya pun berkesempatan untuk menanyakan perkara ritual meminum air bekas membasuh telapak kaki ibu, demi mendapat keberkahan dalam kehidupan.

Dengan tegas, Kiai Hasan menyangkal, ritual semacam itu tidak ada di dalam agama Islam. Bahkan beliau menunjuk sebuah Hadist yang artinya: "Dari Mu'wiyah bin Jahimah as-Salami bahwasanya Jahimah pernah datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam lalu berkata: Wahai Rasulullah, aku ingin pergi jihad, dan sungguh aku datang kepadamu untuk meminta pendapatmu. Beliau berkata: "Apakah engkau masih mempunyai ibu?" Ia menjawab: Ya, masih. Beliau bersabda: "Hendaklah engkau tetap berbakti kepadanya, karena sesungguhnya surga itu di bawah kedua kakinya."

Ada pun surga di bawah telapak kaki ibu itu pun hanyalah merupakan kiasan saja. Maksudnya di balik kiasan itu yaitu senantiasalah (engkau) dalam melayani dan memperhatikan urusannya  dengan penuh ketundukan dan kerendahan diri.

"Sementara jika kita tidak sempat melakukan hal itu, karena kedua orang tua sudah meninggal dunia, maka pada setiap kesempatan berkirimlah do'a kepada keduanya. Selain itu perbanyaklah untuk bersilaturahmi kepada sahabat kedua orang tua kita yang masih hidup di dunia ini," kata Kiai Hasan.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun