Mohon tunggu...
Abahna Gibran
Abahna Gibran Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis dan Pembaca

Ingin terus menulis sampai tak mampu lagi menulis (Mahbub Djunaedi Quotes)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Petani Padi Organik Asal Tasikmalaya Ini Pernah "Diculik" Malaysia

31 Desember 2017   19:50 Diperbarui: 1 Januari 2018   15:45 2898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Aep 'Deet' Saepudin (berjenggot) saat bersalaman dengan Presiden Joko Widodo usai menerima Tanda Kehormatan Satyalancana Pembangunan Bidang Ketahanan Pangsn dan Pertanian dalam acara Penas XV di Nangroe Aceh Darussalam (Dok. pribadi)

Jika berbicara tentang negeri jiran Malaysia, seringkali pikiran kita - bangsa Indonesia, tentu saja, selalu saja menaruh rasa curiga yang muncul secara tiba-tiba. Betapa tidak, karena sikap jumawa negara tetangga yang satu ini seringkali melecehkan harga diri bangsa Indonesia. Sehingga dalam hubungan antar dua bangsa serumpun, ini pun kerap menimbulkan ketegangan yang sulit dihindarkan.

Ulah Negeri Jiran yang paling anyar, yaitu rekaman video yang beredar luas di media sosial yang mengunggah pidato mantan Perdana Menteri Mahathir Mohamad pada satu acara tanggal 14 Oktober lalu. Di dalam pidatonya Mahathir menyebut PM Najib Razak sebagai keturunan "bajak laut Bugis". Tidak hanya orang Bugis saja, bangsa Indonesia pun tersinggung dengan pernyataan yang menganggap rendah salah satu suku bangsa asal Sulawesi itu. Tak terkecuali, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menyampaikan protes keras.

Sebelumnya, pada pertengahan bulan Agustus 2017 lalu, muncul juga insiden tak kalah menghentaknya perasaan bangsa kita. Dalam buku panduan kegiatan pesta sukan antarbangsa se-Asia Tenggara (SEA Games) ditemukan gambar bendera Indonesia terbalik menjadi putih merah, malah berubah menjadi seperti bendera kebangsaan Polandia. Saat itu pun pemerintah kita, melalui Menteri Pemuda dan Olah Raga langsung menyampaikan protes. Dan sebagaimana biasa, pihak Malaysia meminta maaf atas insiden tersebut.

Bukan hanya satu-dua kali saja sikap negeri jiran tersebut yang memancing kegeraman bangsa kita. Sepertinya tak terhitung lagi rentetan peristiwa telah menjadi pemicu munculnya ketegangan dalam hubungan antarbangsa serumpun itu. Mulai sengketa perbatasan, penganiayaan TKI, hingga klaim atas sejumlah budaya Indonesia pun pernah pula dilakukannya.

Bahkan pada tahun 2009 lalu, seorang petani asal Tasikmalaya pernah juga "diculik" oleh negara tetangga kita itu. Hal itu terjadi karena Aep Saepudin (51) warga Desa Sukapada, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, merupakan seorang petani yang menjadi pelopor teknik sistem penanaman padi organik.

Ditemui di rumahnya, Aep menjelaskan, bahwa sistem tanam padi organik tersebut adalah suatu cara bercocok tanam padi tanpa menggunakan bahan kimia sebagaimana biasanya dalam budidaya padi konvensional yang selama ini dilakukan petani kebanyakan. Baik pupuk maupun obat-obatan untuk membasmi hama dan penyakit yang biasa menyerang tanaman padi, semuanya menggunakan bahan-bahan alami.

Karena pengalamannya yang sudah malang-melintang dalam menggeluti tani padi organik, nama Aep menjadi terkenal di Tasikmalaya dan sekitarnya, terutama di kalangan para petani. Bahkan selanjutnya di depan namanya ditambah dengan Deet (Bhs. Sunda yang artinya dangkal), sehingga jadilah Aep Saepudin lebih dikenal dengan sebutan Aep Deet hingga sekarang.

Terlebih lagi saat Dinas Pertanian Kabupaten Tasikmalaya mengajaknya untuk membagikan ilmu yang diperolehnya dari pengalaman itu kepada seluruh petani di sekitar Tasikmalaya, nama Aep Deet semakin meroket saja. Berkat kepiawaiannya itu pula, Kabupaten Tasikmalaya telah mampu mengekspor beras organik ke berbagai negara, antara lain Amerika Serikat, Belgia, Jerman, Belanda dan Jepang. Bahkan pada bulan Maret 2017 lalu, sebanyak 13 ton beras organik diekspor ke Italia.

Hanya saja jerih-payah Aep Deet dalam membantu pengembangan padi organik di Kabupaten Tasikmalaya tidak berbanding lurus dengan capaian keberhasilan yang dibanggakan Pemkab Tasikmalaya tersebut. Kehidupan ekonomiAep Deet sekeluarga masih tetap saja "Senin-Kamis", sebagaimana kebanyakan nasib petani di negeri ini. Tenaganya tak henti dieksploitasi, sedangkan hasilnya boleh dibilang nihil.

Memang Aep sendiri tidak menampik, berbagai sertifikat penghargaan dari Bupati dan instansi terkait sudah bertumpuk-tumpuk yang diterimanya. Bahkan pada 6 Mei 2017 lalu Presiden Jokowi pun menganugerahkan Tanda Kehormatan Satyalencana Pembangunan Bidang Ketahanan Pangan dan Pertanian kepada Aep Deet Saepudin saat digelar Pekan Tani Nasional ke XV di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.

Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden untuk Aep 'Deet' Saepudin (Dok. pribadi)
Piagam Tanda Kehormatan dari Presiden untuk Aep 'Deet' Saepudin (Dok. pribadi)
"Tapi apalah artinya penghargaan berbentuk kertas semacam itu. Paling hanya untuk dipajang di dinding rumah saja. dan sama sekali tidak memiliki nilai jual barang satu rupiah pun," keluhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun