Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ternyata Pelacurpun Ingin Kebaikan bagi Anaknya

26 September 2014   07:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:29 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Orang tua mana sih yang tidak berharap anak keturunannya hidup berbahagia. Seorang ayah yang mencari nafkah sebagai bandit, atawa seorang ibu yang berprofesi jadi pelacur sekalipun, menginginkan anak-anaknya mendapat kehidupan yang baik, dan berbahagia. Sama sekali tidak mengikuti langkah orang tuanya, ayah atawa ibunya.

Seperti pengakuan Marni (40), pelacur yang saban malam biasa mangkal di dekat kantor Pegadaian kota kami. Dirinya menjual diri untuk menghidupi tiga anaknya, juga untuk memenuhi biayai sekolah mereka.

Dengan menyekolahkan anak-anaknya, Marni berharap mereka dapat  memiliki masa depan yang baik. Tidak seperti dirinya. SMP saja tidak tamat. Karena ketika itu Marni mengalami ‘kecelakaan’. Dihamili oleh pacarnya, seorang  preman terminal.

Untungnya sang pacar mau bertanggung jawab. Marni pun kawin muda. Sementara untuk menafkahi keluarga, selain jadi calo penumpang di terminal, jelang malam suaminya menjadi tukang ojek. Adapun sepeda motornya didapat dengan cara menyewa dari seorang juragan ojek.

Memasuki tahun ke-5 hidup bersama suaminya, Marni sudah dikaruniai tiga orang anak. Praktis sehari-hari dia hanya mengurus anak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga saja. Lalu suatu malam, ketika sedang mengeloni anak bungsunya yang masih berusia satu tahun, seorang teman mengojek suaminya muncul dengan membawa kabar yang  sangat mengejutkan. Dalam perjalanan menuju pangkalan ojek, sepulang mengantar seorang penumpang, sepeda motor suaminya bertabrakan dengan bus antar kota. Dan di tempat kejadian nyawa suaminya tidak tertolong lagi.

Setelah ditinggal mati sang suami, kehidupan Marni jadi limbung. Sekaligus bingung memikirkan masa depan dirinya bersama tiga anaknya. Mau kembali ke rumah orang tuanya, Marni merasa tidak sampai hati. Karena selain ayah dan ibunya yang sudah tua, di rumah kecil itupun disesaki oleh kakak dan adiknya yang semuanya sudah berkeluarga, dan sudah memiliki banyak anak juga.

Apa boleh buat. Karena kehidupan mesti terus berlanjut. Ahirnya Marni memutuskan untuk bekerja sebagai tukang cuci pakaian para tetangga. Bukannya tak berniat untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, apalagi jadi seorang karyawan kantoran, tetapi apa artinya selembar ijasah SD.

Pernah juga terlintas untuk berdagang, jadi tukang kredit – sebagaimana banyak dilakukan kaum perempuan di kota kami. Namun lagi-lagi terbentur dengan persoalan modal. Bukankah untuk kehidupan sehari-hari saja sulitnya minta ampun.

Hanya saja pekerjaan sebagai kuli cuci pakaian dirasanya tidak mencukupi, apalagi ketika anak yang sulung masuk SMA, dan anak yang kedua sudah duduk di bangku terahir SMP, kebutuhan sehari-haripun kian bertambah.

Ditambah pula dengani utang kepada rentenir yang berkedok koperasi simpan-pinjam, untuk biaya masuk anaknya ketika masuk SMA, mau tidak mau menambah beban yang harus dipenuhi. Karena kalau sehari saja tidak membayar cicilan pokok plus bunganya yang hampir setengahnya dari pokok pinjaman, sudah pasti akan kena denda. Sedangkan sumber pendapatan tetap saja hanya dari upah mencuci yang pas-pasan, dan kadangkala tidak mencukupi.

Marni pun terus memeras otaknya. Bagaimana supaya mendapat penghasilan yang dapat mencukupi kebutuhannya.  Apalagi bisa lebih dari cukup. Karena memang itu yang diharapkan.

Harapan  itu tampaknya segera jadi kenyataan. Seorang pelanggan yang tinggal di RT sebelah adalah orang yang membuka jalan ke arah itu. Sungguh. Status pelanggan yang satu ini sama seperti diri Marni. Seorang janda. Tapi hidupnya serba berkecukupan.  Sedangkan sehari-hari, kerjanya di rumah saja.  Aneh. Marni pun jadi penasaran. Dan kalau bisa, ingin hidup berkecukupan seperti pelanggannya tersebut.

Karena sudah sering bertemu, saat mengambil atawa mengantar pakaian, keduanya jadi akrab. Malahan kalau senggang Marni sering ngobrol lama dengan pelanggan yang satu itu. Dan Marni pun tidak sungkan lagi untuk berkeluh-kesah  dengan kesulitan hidupnya. Selanjutnya dia berharap sang pelanggan itu mau memberi jalan keluar.

“Wajah kamu lumayan juga, Mar. Apalagi kalau sudah dandan. Dan itu sebetulnya modal buatmu untuk  mendapat uang banyak,” begitu kata pelanggannya saat itu.

“Memangnya bekerja jadi apa ?” tanya marni.

“Ya, seperti aku ini. Melayani para lelaki berduit yang butuh kehangatan...” sahutnya sambil tersenyum.

Seketika Marni pun  terkejut dibuatnya. Pantas saja kehidupannya berkecukupan.  Jadi pelacur, menjual tubuh pada lelaki yang gonta-ganti. Dan bayangan menakutkan pun muncul di depannya.

“Bagaimana, mau sepertiku ?” pelanggannya itu mengejutkan lamunannya. Tapi Marni tidak menjawabnya. Hatinya rusuh. Bingung. Takut. Bercampur aduk. Apalagi jika ingat kepada guru ngajinya, bahwa melacurkan diri itu adalah pekerjaan paling hina, dan hukumnya merupakan dosa besar.

Hanya saja ketika itu sedang musim  hujan. Pekerjaan mencuci pakaian pun seringkali telat selesainya. Praktis pemasukan uang pun jadi terganjal. Sementara kebutuhan sehari-hari mmusti tetap terpenuhi. Ditambah pula dengan dendaan utang dengan bunga yang ikut berbunga, adalah beban yang ahirnya membuat Marni memutuskan untuk mengikuti ajakan pelanggan cuci pakaiannya itu.

“Berat terasa melakukan pekerjaan ini. setiap malam harus begadang. Pagi hari menyelesaikan pekerjaan mencuci. Belum lagi dengan gunjingan dan tatapan mata sinis tetangga. Tapi demi masa depan anak-anak juga, apa boleh buat...” katanya dengan suara tersendat. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun