Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Melawan Lupa: Pak Presiden, Korupsi itu Ternyata...

23 Desember 2015   22:10 Diperbarui: 23 Desember 2015   22:20 1741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Adanya suatu perkara, mustahil berdiri sendiri, tanpa ada perkara, atawa peristiwa lain yang memicunya.Sebagaimana halnya dengan draf usulan RUU KPK yang diusung oleh fraksi PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura, PPP, dan PKB di DPR belakangan ini yang menimbulkan kehebohan publik, bisa jadi di balik itu karena ada peristiwa yang menuntut pihak terkait untuk merevisi UU tentang komisi anti-rasuah tersebut.

Sebagaimana alasan yang dikemukakan Masinton Pasaribu, politikus PDIP yang tampak begitu nyaring bersuara, karena KPK merupakan lembaga ad hoc, atawa tidak permanen,  dan pembentukannya sejak semula dimaksudkan hanya untuk sementara waktu. Atawa dengan kata lain apabila tindak pidana korupsi sudah lenyap sama sekali di negeri ini.

Akan tetapi sebagaimana TAP MPR nomor VIII tahun 2001 yang menjadi dasar pendirian KPK, meskipun lembaga anti-rasuah itu bersipat sementara, namun tidak ditemukan batas waktu, sampai kapan KPK akan ‘hidup’ di indonesia ini. Maka dengan trengginasnya para penyusun draf, atawa rancangan itu buru-buru mencantumkan kalau umur KPK hanya sampai sampai 12 tahun ke depan saja sejak RUU itu diundangkan.

Lalu dari sikap DPR bersama pemerintah – dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM, kita balik bertanya: Apa yang menyebabkan lahirnya Komisi Pemberantasan Korupsi ?

Inilah masalahnya.

Wakil Presiden pertama, almarhum Mohammad Hatta pernah mengatakan, bahwa korupsi telah menjadi suatu budaya di Indonesia ini. Ahli sejarah JJ Rizal mengungkapkan, “Hatta saat itu merasa cita-cita negara telah dikhianati dan lebih parah lagi karena korupsi itu justru seperti diberi fasilitas. Padahal menurut dia, tak ada kompromi apapun dengan korupsi.”  

Maka tak heran, di usianya yang masih muda, 12 tahun setelah merdeka, tepatnya di tahun 1957, dengan keluarnya Peraturan Penguasa Militer Nomor PRT/PM/06/1957 pemberantasan korupsi secara yuridis di negeri ini sudah dibentuk untuk pertama kalinya. Peraturan yang dikenal dengan Peraturan tentang Pemberantasan Korupsi ini dibuat oleh penguasa militer waktu itu, yaitu Penguasa Militer Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Akan tetapi dalam suasana menasionalisasikan perusahaan-perusahaan Belanda ke tangan pemerintah yang kemudian dikuasai oleh militer, justru melahirkan korupsi di kalangan militer itu sendiri. Dengan demikian kita dapat menarik kesimpulan, sejak awal kemerdekaan pun ternyata perilaku merugikan hak rakyat di kalangan pemerintah telah menggurita.

Demikian juga halnya di era Orde Baru, pemerintah telah menerbitkan Keppres No.28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi. Tetapi upaya itu pun sepertinya hanya untuk pemanis bibir rezim Soeharto dalam meninabobokan rakyatnya. Karena di dalam kenyataannya Tim Pemberantasan korupsi itu bisa dikatakan hampir tidak berfungsi sama sekali. Peraturan ini malahan memicu berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969, dan puncaknya di tahun 1970 yang kemudian ditandai dengan dibentuknya Komisi IV yang bertugas menganalisa permasalahan dalam birokrasi dan mengeluarkan rekomendasi untuk mengatasinya.

Mengingat lamanya rezim Orde Baru mencengkeramkan kukunya di negara ini, maka upaya membuat rakyat agar terlena, Soeharto pun kembali mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi.  Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi. Dan untuk melengkapi undang-undang tersebut,  dokumen negara Garis-garis Besar Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan rakyat untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor karena pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali. Dan praktik KKN (Korupsi, kolusi, dan Nepotisme) justru tumbuh subur saat itu.

Selanjutnya di era Reformasi, yang di awali di era Presiden Habibie, semangat dan harapan rakyat untuk melenyapkan korupsi di negeri ini demikian menggebu. Apalagi kita ingat, pada masa itu muncul sebuah kasus besar yang disebut skandal cassie Bank Bali. Dan negara rugi Rp 546 miliar. Bukankah dalam skandal itu pun ada nama Setya Novanto disebut-sebut ? Konon Setnov terlibat permainan hak tagih Bank Bali kepada BDNI yang masuk dalam perawatan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Beberapa nama masuk penjara, tapi Setnov hanya dipanggil sebagai saksi.

Mengingat masa pemerintahan Habibie hanya sebentar, dan selanjutnya diganti oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Gus Dur kemudian membentuk badan-badan negara untuk mendukung upaya pemberantasan korupsi, antara lain: Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Pemeriksa Kekayaan Pejabat Negara dan beberapa lainnya berdasarkan pada amanat Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Pengelolaan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun