Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Dia, Mahasiswa Pejuang yang Melupakan Jalan Pulang

19 November 2021   11:01 Diperbarui: 19 November 2021   11:07 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Sumber: pexel.com/PNW productions)

Sebuah pertemuan yang tidak disangka-sangka, dan yang awalnya dianggap kisah fiksi belaka, tetapi nyata adanya.  Lantaran baru kali ini selama hidup saya menemukan kisah seperti ini. Tentang pergulatan total seorang anak muda yang mengabdi untuk meningkatkan peradaban sesamanya.

Tanpa disengaja memang saya menemukannya. Ketika suatu hari saya pergi ke kota. Sebagaimana biasanya setiap bepergian dari kampung ke kota, selain untuk mencari suasana baru, tidak lupa juga untuk singgah ke perpustakaan yang terletak di salah satu sudut kota Tasikmalaya. Ibaratnya pergi ke Makkah tanpa singgah ke Madinah,  sebagaimana pameo di kalangan umat Islam, kiranya yang saya lakukan setiap berkunjung ke kota terdekat dari kampung tempat tinggal saya.

Demikianlah. Saat saya berkeliling di sela-sela deretan rak yang berisi berbagai judul buku, tiba-tiba mata saya tersedot pada sebuah buku yang sampulnya seperti telah cukup lama diterbitkannya. Atau mungkin karena telah banyak orang yang membacanya? Aneh. Padahal sudah cukup lama saya menjadi anggota perpustakaan itu. Tapi kenapa baru saat itu saya menemukannya.

Pikiran itu hanya sejenak saja menggerayang. Lantaran tergantikan oleh kekaguman, sekaligus haru-biru yang mendalam. Setelah selesai membacanya, tentu saja.  Betapa tidak. Sebab rasanya suatu yang mustahil terjadi di zaman sekarang ini. Anak-anak muda dari desa yang berlomba mencari ilmu pengetahuan setinggi langit pun, akhirnya kebanyakan dari mereka lebih memilih duduk di belakang meja dalam ruangan yang kental dengan kemewahan. Sama sekali enggan pulang, untuk mengamalkan ilmunya bagi kerabat maupun sesama di pelosok desa yang masih tertinggal.

Sebaliknya, seorang Muhammad Kasim Arifin, yang terdaftar sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), saat melaksanakan tugas kuliah kerja nyata (KKN), yang saat itu, tepatnya pada tahun 1964 dinamakan Program Pengerahan Mahasiswa, Kasim muda ditugaskan nun di sebuah desa terpencil bernama Waimital, yang terletak di pulau Seram, Maluku, tanpa sedikitpun keraguan dirinya bertekad untuk mengabdikan diri dengan seluruh ilmu yang telah didapatkannya di salah satu perguruan tinggi tertua di negeri ini.

Nurani anak muda yang satu ini langsung trenyuh, sekaligus tergetar melihat fakta di depan matanya saat bertemu dengan keluarga petani miskin yang merupakan pendatang melalui program transmigrasi. Seketika itu juga muncul panggilan dari jiwanya yang paling dalam. Kasim muda langsung menanggalkan segala atribut kota dan intelektual yang melekat pada dirinya. Dia melebur dalam kehidupan desa dengan pakaian yang lusuh dan sandal jepit sebagai tampilan barunya. Bersama para petani dia berjalan kaki menyusuri jalan yang terjal sepanjang 20 kilometer, pergi-pulang saban hari, untuk menggarap dan mengolah lahan dengan harapan bisa merubah keadaan.

Sampul buku Seorang Lelaki di Waimital, dok Sinar Harapan
Sampul buku Seorang Lelaki di Waimital, dok Sinar Harapan

Dengan mengedepankan prinsip kerja berdasarkan gotong-royong, tanpa sedikitpun mendapatkan bantuan dari pemerintah, mahasiswa Institut Pertanian Bogor itu membangun irigasi, membuka jalan desa, mencetak areal persawahan baru, dan mengamalkan seluruh ilmu pengetahuan yang telah diterimanya dari perguruan tinggi kepada para petani tempat dirinya ditugaskan.

Totalitas pengabdian Kasim muda terhadap para petani di Waimital, Seram, yang disertai rasa cinta dan kepedulian yang begitu besar, membuat dirinya pun dihargai, dan dicintai semua warga Waimital. Bahkan sampai diberi penghargaan gelar Antua, sebagai orang yang dihormati di tempat itu.

Sebagaimana ketentuan Program Pengerahan Mahasiswa saat itu yang pelaksanaannya hanya tiga bulan, ternyata bagi seorang Kasim dianggapnya belumlah cukup untuk dituntaskan. Ketika semua teman satu angkatannya sudah diwisuda pun, mahasiswa yang satu ini masih tetap asyik-masyuk bersama para petani di Waimital. Bahkan di saat teman-temannya telah lulus dan banyak yang menjadi pejabat, ia tetap bergeming untuk tetap bersama lumpur dan segenap tekadnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun