Tanpa menunggu lama lagi, saya pun langsung menelpon balik atasan saya itu. Bukannya menjawab salam sebagaimana biasanya, pimpinan redaksi langsung nyerocos dengan nada tinggi, dan berbagai kalimat yang seolah ingin menunjukkan sebagai orang yang berwibawa, juga punya kuasa menyembur dari mulutnya.
Sebagai seorang bawahan, untuk sementara saya hanya diam saja. Biarlah dia mengeluarkan seluruh uneg-unegnya. Kemudian sesaat dia terdengar berhenti bicara, dengan nafas tersengal, saya pun langsung angkat bicara. Menjelaskan apa yang terjadi sesungguhnya. Tak lupa saya pun meminta maaf, dan dapat memaklumi dengan apa yang tengah saya alami.