"Laporan dari Anda kami sudah terima... Bla- bla- bla-...."
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Warga korban kejahatan tersebut tidak pernah mendengar kabar proses selanjutnya dari pihak kepolisian. Atau misalnya menonton maupun membaca media yang memberitakan pelaku kejahatan terhadapnya berhasil dibekuk aparat kepolisian. Tidak ada sama sekali.
Warga itupun bertanya-tanya dalam hati. Apakah peristiwa kejahatan yang menimpa dirinya itu harus diviralkan, sebagaimana peristiwa kejahatan lainnya yang dalam tempo singkat berhasil diungkap?
Tapi dirinya tak memiliki rekaman video saat peristiwa itu berlangsung. Jangankan CCTV, telepon genggam saja ia tak memilikinya.
Bagaimana kalau meniru sopir kontainer yang langsung melaporkan kasus pemalakan yang menimpa mereka kepada Presiden Jokowi, sehingga Kapolri sendiri langsung gercep memberi perintah kepada jajarannya supaya segera bertindak?
"Ah, kapan aku dapat kesempatan bertatap muka dengan Presiden, aku cuma seorang warganegara yang tinggal di pelosok saja. Boro-boro bertemu Presiden, dengan Camat yang notabene dekat saja tempat tugasnya susahnya minta ampun untuk menemuinya."
Memang pada kenyataannya keadaan seperti itu bukan sekedar omong kosong belaka. Melainkan fakta yang begitu jelas kasat mata.
Kesempatan untuk mendapatkan rasa aman belum menjangkau seluruh warga negara. Sebagaimana juga pelayanan kesejahteraan dan kemakmuran. Bagi sekelompok warganegara yang hidupnya masih berada di bawah bayang-bayang ketertinggalan - dalam tanda kutip, tentu saja. Tepatnya mereka yang belum memiliki akses modernisasi.
Sehingga secara lugas, ungkapan "diskriminasi" masih bergema di negeri ini. Apa boleh buat. Dunia dalam genggaman tangan ternyata hanya sekadar kalimat indah di telinga bagi sebagian dari mereka. ***