Mohon tunggu...
Hendra Wiguna
Hendra Wiguna Mohon Tunggu... Perubah -

Humas DPD Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Kota Semarang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Deklarasi Djuanda, Dekrit Presiden, dan Poros Maritim Dunia

25 Desember 2015   17:24 Diperbarui: 25 Desember 2015   17:24 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="mojok.co.id"][/caption]

Deklarasi Djuanda  yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 merupakan tonggak atau pijakan dalam membangun negara Indonesia sebagai negara maritim saat ini. Deklarasi Djuanda merupakan keputusan penting yang dibuat oleh bangsa Indonesia.

Dalam hal ini Perdana Menteri Ir. Djuanda Kertawidjaja memiliki andil yang besar. Setelah berbagai peristiwa bersejarah terjadi, yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, Proklamasi 17 Agustus 1945, dan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada 18 Agustus 1945, itu pun kemudian terasa lengkap dengan hadirnya deklarasi ini sebagai pengukuh simpul-simpul sejarah tersebut.

Keputusan yang diambil sebagai pemutus pengaruh kolonialisme yang pada saat itu masih berusaha memecah belah Indonesia, menjadi fondasi awal yang baik dalam membangun Indonesia sebagai negara maritim yang besar serta digdaya. Pemerintah kala itu dengan berani mendeklarasikannya sebagai ketegasan bahwa laut adalah pemersatu bangsa ini, bukan pemisah.

"Pemerintah kala itu dengan berani mendeklarasikannya sebagai ketegasan bahwa laut adalah pemersatu bangsa ini, bukan pemisah"

Upaya pemerintah pada kala itu masih banyak menemui kendala terutama belum menemukan format yang tepat. Di antaranya, Indonesia pada saat itu masih menggunakan UUD Sementara 1950 sebagai kelanjutan dari UUD RIS yang ditetapkan bersama Belanda di Den Haag pada 27 Desember 1949.

Aturan itu merupakan pengukuh dari aturan-aturan Kolonial Hindia Belanda sebelum Proklamasi Kemerdekaan, termasuk Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).

Dalam hal ini Indonesia masih dirugikan, karena dalam peraturan tersebut menerangkan bahwa pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekelilingnya sejauh 3 mil dari garis pantai sehingga kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

UUDS 50 menjadikan Deklarasi Djuanda hanya sebuah euphoria hukum yang tidak berkutik di bawah naungannya. Alhasil, kondisi itu mengantarkan Indonesia pada kondisi di ujung tanduk, dengan terjadinya disintegrasi bangsa.

Hal tersebut akhirnya diakhiri dengan Dekrit Presiden Sukarno yang berisi bubarkan Dewan Konstituante, Kembali ke UUD 45, dan bentuk MPRS serta DPAS. Hal ini pun tentunya sebagai upaya penyelamatan bangsa dan negara.

Dekrit terserbut diumumkan pada tanggal 5 Juli 1959 di Istana Negara, tentu dengan hadirnya Dekrit ini membawa ruh kemerdekaan Indonesia kembali di mana bangsa dan negara ini berkedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila serta menghadirkan kembali cita-cita Sumpah Pemuda, yaitu mengangkat harkat dan martabat hidup bangsa Indonesia.

Dekrit Presiden mampu memperkuat Deklarasi Djuanda yang kemudian dilanjutkan dengan UNCLOS 1982. Jiwa kepemimpinan yang dimiliki Presiden Sukarno menjadikan kebijakan-kebijakan pemerintah pada kala itu mengarah kepada pembangunan Indonesia sebagai negara maritim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun