Mohon tunggu...
Arrum
Arrum Mohon Tunggu... -

berkarya itu sebagian dari kemerdekaan...(seharusnya)...

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Tentang Pemburu Gambar Dua Proklamator

13 November 2015   15:21 Diperbarui: 13 November 2015   17:42 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gambar: Google"][/caption]

ADA satu peristiwa yang belum terhapus dari memori, ketika aku melihat hujan. Kali ini ingatanku kembali tertuju pada peristiwa beberapa tahun silam di depan sebuah boutique di salah satu sudut kota pelajar. Saat itu aku pulang kuliah lewat magrib yang hampir habis. Hujan cukup deras, membuatku tak berani menyeberang jalan setelah turun dari angkot. Padahal tempat kosku tak jauh di seberang. Aku memilih berteduh menunggu hujan sedikit reda karena ada beberapa dokumen yang harus aku selamatkan dari percikan air.

Selang beberapa langkah dari tempatku berdiri, ada dua gadis seusiaku tengah memperdebatkan sesuatu. Satu gadis di antaranya berambut panjang tergerai, mengenakan rok mini dengan atasan jumpers hijau tua bertuliskan sesuatu – aku tak ingat. Satu gadis lagi berambut panjang terkuncir ekor kuda, mengenakan hotpants dengan atasan jumpers yang sama dengan gadis satunya.

Sembari memegangi dokumen dan menahan hawa dingin yang tersalur dari baju yang basah, aku menyempatkan diri untuk memusatkan perhatianku pada dua gadis itu. Ingin sekali aku menguping pembicaraan mereka, sayang suara derasnya hujan dan bunyi petir mengalahkan suara percakapannya. Aku hanya bisa melihat gerak tubuh dan menangkap beberapa ekspresi ganjil.

Gadis dengan rambut tergerai berkacak pinggang sambil terus berbicara, sementara gadis lainnya menimpali pembicaraan gadis berambut tergerai sambil memegangi ponsel dan memencet-mencet tutsnya. Tak lama kemudian, si pemegang ponsel berbicara dengan seseorang. Perempuan berambut tergerai masih terus berkacak pinggang dan tampak makin gelisah.

Hujan pun tak kunjung reda, membuatku tertahan di depan boutique lebih lama. Akibatnya, aku menjadi saksi mata perdebatan dua gadis itu dalam durasi lebih lama. Ajaibnya, aku tetap belum menangkap apa yang mereka perdebatkan. Sekitar lima menit kemudian saat perdebatan itu berlangsung, salah satu gadis – mengenakan rok mini dengan rambut tergerai – mengeluarkan selembar uang bergambar dua pahlawan proklamator. Gadis itu membanting lipatan uang kertas itu ke tangan gadis satunya. Gadis yang menerima sehelai uang itu menghentikan kata-katanya.

Beberapa detik berikutnya, gadis dengan rambut tergerai yang memberi uang itu lantas melepas jumpers hijaunya. Tampak tubuh putih dengan dada yang padat terbalut dalam tank top hitam tanpa corak. Gadis itu segera merapikan rambutnya yang sedikit teracak. Lalu, sebuah mobil sedan menepi dan menghentikan lajunya. Pintu mobil terbuka, gadis yang kini terlihat ber-tank-top hitam itu lari secepat mungkin ke sana. Terlihat olehku ada seorang laki-laki berdasi duduk di bangku supir. Si gadis buru-buru masuk ke mobil dan menutup pintu menyisakan bunyi berdebam.

Tanpa kusadari, gadis berambut terkuncir ekor kuda yang diberi uang itu sudah tidak lagi di posisinya semula. Aku melongok penuh rasa penasaran. Nihil! Aku kehilangan jejaknya. Aku hanya melihat seekor anjing malas yang sedari tadi terkulai di ujung teras. Mata si anjing membelalak, melepas kepergian sedan merah dengan rasa was-was, seolah mengkhawatirkan si gadis yang barangkali terperosok ke lembah hitam di antara lipatan-lipatan kertas bergambar duo proklamator.

Tubuhku semakin menggigil!        

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun