Mohon tunggu...
ARIF ROHMAN SALEH
ARIF ROHMAN SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Datuk Bonita Berderam

19 September 2021   19:42 Diperbarui: 19 September 2021   19:45 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Chaideer Mahyuddin/AFP/voaindonesia.com

Harimau betina itu berderam. Menggetarkan penghuni hutan. Tangisan-tangisan dan lolongan-lolongan menyayat, terhenti. Telinga-telinga mulai pasang arah suara.

Makhluk-makhluk yang masih hidup terdiam, memaku diri. Kantong-kantong uap dan getah yang lengket, mengembang dan mengembang. Meletup-letup di antara asap dan nyala raya api dari manusia angkara. "Ya. Manusia angkara!" Desis Bonita.

Bola mata Bonita memancar amarah. Sorotnya yang tajam penuh kebencian. Taringnya kembali dipertontonkan pada langit membisu. Sebab tanya tak kan pernah terjawab seiring perputaran waktu yang terasa begitu melambat.

Sepanjang malam, Bonita mengaum dan mengaum. Berderam-deram, menggeru-geru, dan menggeram. Memutari kawasan hutan yang telah menghitam. Membangunkan kekuatan alam yang tak lagi mau diam

Dalam gelap dan tipisnya limit kesadaran. Sesosok bayang harimau jantan gagah mendekati Bonita. "Engkaukah itu, Sayang?" Tanya Bonita, penuh harap. Sosok yang telah dekat di depannya hanya diam.

Bonita menghambur dan menumpahkan kesedihan. "Anak-anak kita telah hilang. Dipanggang angkara manusia". Sosok harimau jantan berubah wujud, lelaki tua bersorban. Menunduk dan mengelus kepala Bonita, lalu menyusup dan menyatu dengan raga sang betina

***

Matahari mulai meninggi, sedang kepulan asap semakin sombong membubung dan bara belum mau mati dalam tiupan angin timur. Api tak henti menjilati, mengunyah sisa-sisa benih dan sisa-sisa napas kehidupan yang masih bertahan. Bonita terhenyak!. Kepalanya mendongak!. Dan aumannya semakin dahsyat menggema. Kembali memanggil anak-anaknya, yang entah sudah di mana.

Bonita berlari, menerjang jengkal demi jengkal tanah hutan warisan leluhur yang diagungkannya. Sesampai di sungai yang airnya mulai keruh, terlihat wajahnya lusuh. Tiba-tiba telinga Bonita menegang. Gemuruh mesin-mesin jelas terdengar dari arah seberang sungai.

Gesit dan tangkas Bonita melompati bebatuan, menyeberangi sungai seakan terbang. Sorot matanya tajam menatap pepohonan yang ditumbangkan, berserakan. "Habiskan dan ratakan!" Teriak seseorang sambil berkacak pinggang. "Siap, Bos. Beres!" Jawab pekerja di ujung tenggara.

Puluhan gergaji meraung-raung memekakkan telinga. Meruntuhkan pepohonan, membanting ranting-ranting, dan merontokkan dedaunan. Semak-semak liar yang masih bertahan dan berserakan, dibakar tanpa sisa. Gemeratap bara dan api yang kian menyala, membungkam rintihan-rintihan dan tangisan-tangisan hewan-hewan hidup terpanggang.

Bonita menatap jalang, dadanya dibusungkan, bersiap menantang angkara. Amarahnya meletup melebihi nyala api raya, mencipta angkara murka. Dalam sekejap, terkaman Bonita membuat tubuh sang Bos terjengkang. Taring tajam Bonita dalam menghunjam, dan menyeret tubuh si Bos ke semak belukar terdalam.

***

Suasana riuh seketika. Raungan mesin-mesin dipaksa mati. Teriakan-teriakan manusia-manusia haus cuan saling bersahutan. Menyeponggang membentur tebing-tebing dan bukit-bukit saksi bisu anak zaman. Dunia manusia tak lagi bersahabat dengan alam semesta.

Di rimbun semak belukar, cakar-cakar tajam Bonita merobek tubuh si Bos. "Darah yang mengalir dari tubuhmu, tidak sebanding dengan air bah dan hilangnya alam penghidupan disebab ulahmu!". Taring Bonita, begitu ganas merobek dan mengunyah. "Kepalamu yang angkara, tidak sebanding dengan hilangnya makhluk-makhluk hutan bernyawa!".

Bonita, Datuk betina yang kehilangan tiga anak dan pasangannya tak henti mengoyak dan melumat. Hingga terdengar,"DOR! DOR! DOR!".

Senapan pemburu dari dua pegawai kebun kelapa sawit menyalak liar, memecah hening senja yang mulai gelap menyelimuti mayapada. Sigap Bonita menghindar, berlari ke arah bebatuan seberang sungai. Puluhan orang mengejar dan mengejar.

Tepat di atas bebatuan yang menggunduk menjulang, Bonita berdiri menantang. Sorot matanya tajam menyala,"Mulai saat ini. Kami, sisa-sisa para Datuk, memusuhi manusia". Kepala Bonita mendongak.

"DOR! DOR! DOR!". Kembali tiga peluru menyalak, melesat dan menghambur ke arah Bonita, tetapi tak mampu menembus kulit sang Datuk Betina. Bonita mengaum,"Manusia telah lupa akan keluhuran manusia pendahulunya. Juga lupa pada kami, para Datuk yang tersisa. Penjaga keseimbangan alam semesta".

Catatan :

  • Sepanjang 2019 berbagai konflik manusia dengan harimau sumatera terjadi di Sumatera. Mulai dari Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Bengkulu, Lampung, dan terakhir di Sumsel. Korban jiwa bukan hanya manusia, juga harimau.
  • Konflik ini melahirkan keinginan dari masyarakat atau pihak tertentu agar harimau dijauhkan dari habitatnya atau lokasi konflik. Bukan hanya organisasi nonpemerintah, BKSDA, juga pekerja budaya di Sumatera menolak keinginan ini.
  • Jika harimau dikeluarkan dari habitatnya, masyarakat Sumatera akan mengalami kerugian. Kerugian pertama yakni terancam budaya atau tradisi yang menggambarkan hubungan harmonis manusia dengan harimau.
  • Jika harimau sumatera keluar dari habitatnya, bencana ekologi akan mendatangi Sumatera. Sebab hutan rimba akan lebih mudah diakses manusia untuk kegiatan ekonomi dan infrastruktur.

Referensi dan Sumber Inspirasi Panthera Tigris Sumatrae:  1, 2, 3

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun