Mohon tunggu...
ARIF ROHMAN SALEH
ARIF ROHMAN SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengintip Politik Cash and Carry, Apa dan Bagaimana Dampaknya?

3 Juni 2021   13:23 Diperbarui: 3 Juni 2021   13:31 872
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karikatur Politik Uang. Sumber: Wawan Bastiant/goldenpencil.id

Biaya politik Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tembus miliaran atau ribuan juta rupiah? Anda mungkin tidak percaya. Opini ini seperti "gunung es" dan memang belum banyak data empiris mengangkatnya sebagai fakta nan logis.

Menghitung ongkos atau pengeluaran untuk hajatan tertentu harus dilakukan guna mencapai tujuan. Bagaimana halnya dengan kegiatan politik? Pasti dilakukan dengan tujuan memenangkan kontestasi.

Politik Cash and Carry

Kontestasi politik membutuhkan dukungan dari konstituen. Pemetaan basis dukungan merupakan langkah awal menuju kulminasi hajat "kemenangan pesta demokrasi".

Kapabilitas, integritas, dan popularitas bersanding paralel sebagai "produk berkualitas" dari sosok calon pemimpin yang layak jual. Secara teori memang sangatlah menjanjikan.  

Tetapi, politik pragmatis berkata lain. Ada harga ada barang. Politik cash and carry lebih menentukan terwujudnya tujuan kontestasi sebagai "pemenang".

Adagium "anda jual kami beli" seakan mengikat kontestan berlomba membeli hak pilih. Alhasil, biaya politik lebih menggema gaungnya daripada visi dan misi menjelang panggung pesta demokrasi digelar.

Bak gayung bersambut, cukong-cukong besar dan kecil ikut meramaikan kemeriahan hajat publik ini. Pemilik hak pilih menunggu datangnya "rezeki tanpa perasan keringat". 

Hukum cash and carry berlaku, siapa yang paling banyak membeli hak suara secara tunai, maka dia yang akan membawa pulang hak pilih sebagai modal melenggang ke panggung politik dan menjadi "pemenang". 

Politik "yang penting dapat uang" bergeser nilainya ke arah "berapa banyak uang untuk membeli suara hak pilih", telah menggiring opini publik betapa mahalnya biaya pesta demokrasi.

Alhasil, untuk menjadi seorang Kepala Desa membutuhkan biaya ratusan juta rupiah bahkan miliaran rupiah. Bagaimana dengan Pilkada, Pileg, dan Pilpres? Tentu semakin mahal biaya politiknya.

Dari Benteng Stelsel hingga Serangan Fajar

Menarik memang mengikuti dinamika politik pemilihan pemimpin dan wakil rakyat secara langsung. Pilkades, Pilkada, Pileg, dan Pilpres secara langsung membuka harapan terbukanya kran demokrasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun