Pagi ini tanpa gerimis menggerutu di bawah awan menggantung, kau ajak serong kiri tak mau lurus, sedang kanan masih buntu
Aku sudah memintamu lurus saja, tapi kau memaksa, alasanmu rindu kenangan yang masih melekat di benakmu, juga benakku
Kenangan bersahaja, bertemu suasana desa dan perkampungan, meskipun jalanan di bulan november ini sudah becek oleh siklus alam
Aku mencoba mengingatkanmu, saat ini kabarnya di sepanjang kenangan itu telah berbatu dan ditinggal begitu saja dimakan waktu
Benar saja, saat kau terpental-pental, kudengar deru napasmu tersengal-sengal, derak tulang-tulangmu juga tak kuasa kau tahan
Saat sekumpulan petani dan mungkin lebih banyak buruh tani tengah duduk di pinggir jalan, menunggu tepat waktu menggarap lahan, engkau matikan mesinmu
Aku paham dan tak menyalahkanmu yang kepayahan, mungkin juga kesakitan, karena akupun merasakan apa yang kau rasakan
Saat itulah lidahku iseng bertanya pada mereka,"Apakah jalanan ini sudah lama dibiarkan kulitnya mengelupas hingga tulang-tulangnya tajam menganga?"
"Ya...., sudah lama. Bahkan lama dibiarkan"
"Tidak pernahkan tuan dan puan ambtenar lewat dan memperhatikan atau bahkan mengobati luka-luka ini jalanan?"
"Pernah, sekali waktu, saat menjelang Pilkada. Setelah itu selamat tinggal"
Aku dan kau bisa memahami, dan sangat bisa memaklumi.Â
Ah...., Marilah kita menyanyikan lagu "Bagimu Negeri"
ariefrsaleh
NKRI, 18 11 17