Saya perlu membaca dua kali berita viral tentang Guru Eko seorang guru di SMP di Cijalingan, Jawa Barat yang dimarahi aparat desa karena mengunggah video jalan rusak di media sosial.
Mengapa perlu dua kali? Supaya dapat secara obyektif memahami persoalan tersebut, meski pada akhirnya tetap tak bisa.
Pertanyaan sederhananya seperti ini, siapa yang salah? Guru Eko atau Aparat perangkat desa? Dari berita publik serasa digiring bahwa yang salah adalah aparat desa. Mengapa harus alergi dengan postingan di medsos seperti itu, lalu marah sejadi-jadinya. Begitu demikian.
Nah, aparat desa nampaknya membela diri. Ini bukan marah karena postingan, tapi karena tidak ada klarifikasi terlebih dahulu.
Maksud aparat desa seperti ini, jalan itu memang rusak, tapi tidak serta merta dibiarkan karena akan diperbaiki sesegera mungkin.
Nah, postingan itu ditafsir aparat desa sebagai ketidakpercayaan atau secara langsung menyatakan ketidakbecusan mereka tanpa memahami pokok kejadian sebenarnya.
Itu tafsir aparat desa. Beda lagi dengan Guru Eko.
Menurut Guru Eko yang takut dan mesti meminta maaf dari video yang beredar, maksudnya tidak demikian adanya, dia hanya memosting, bahkan tidak menyebut nama desa. Mungkin Guru Eko hanya ingin memberitakan tanpa bermaksud menyudutkan.
Pada akhirnya, kabarnya, sudah ada perdamaian, mesti perlu dilewati dengan aksi marah-marah, dan permintaan maaf.
Lalu bagaimana posisi saya melihat ini? Bagi saya, posisi saya ada di Guru Eko, mesti memang harus ada yang perlu dievaluasi.
Sebagai Guru, saya mengapresiasi sikap kritis yang dimiliki oleh Guru Eko. Dulu, saya memiliki seorang panutan seorang guru sekolah yang sudah meninggal dunia. Sebut saja namanya Guru Okto.