Sekretaris Fraksi PKS DPRD DKI Jakarta Achmad Yani nampak geram.
"Di dalam berpolitik itu kan harus ada etika. Nah, kemudian pada saat gubernur yang kita usung kemarin, kita menangkan, ya harus kita dukung sampai selesai tugasnya. Bahkan bagaimana kita bisa membantu Pak Anies untuk terus menyukseskan program-program kegiatannya," ujar Yani.
Ada apa gerangan? Ternyata ini soal pernyataan Ketua DPC Gerindra Jakarta Timur Ali Lubis yang meminta Gubernur DKI, Anies Baswedan segera mundur dari jabatannya karena dianggap tidak mampu menangani Covid-19 di DKI Jakarta.
Pernyataan lugas Lubis ini diberikannya merespon Anies yang kabarnya meminta bantuan pemerintah pusat untuk mengambil kordinasi penanganan Covid-19. Bagi Lubis, jika Anies seperti nyerah melawann Covid, maka lebih baik mundur saja dari jabatan.
Yani lantas berang, bagi Yani, meskipun dia masih mengklarifikasi apakah ini pernyataan partai atau pribadi, Yani merasa ini sudah menyalahi etika.
Etika yang dimaksud Yani, adalah sebagai partai pengusung, Gerindra dan PKS seharusnya kompak mendukung Anies hingga selesai. Namun, tentu saja, ini bisa saja pendapat Yani secara pribadi, belum tentu Gerindra memahami demikian.
Mengapa bisa begitu? Jika melihat persinggungan yang terjadi antara PKS dan Gerindra ini, maka harus diakui bahwa soal silang pendapat ini bukan hal yang  baru bagi kedua partai. Bahkan jika kita ingat, bagaimana serunya  perebutan kursi wagub DKI sepeninggal Sandiaga Uno yang menyisakan keretakan di antara kedua partai ini.
PKS saat itu merasa sudah sepakat denga Gerindran bahwa jatah Wagub adalah milik PKS, namun ketika semua calon PKS "mental" di DPRD, akhirnya Riza Patria dari Gerindra yang muncul di permukaan.Â
Di media, berulangkali PKS menunjukkan "kekesalannya", Gerindra malah merasa ini kesalahan PKS yang tidak mampu meyakinkan legislatif. Akan tetapi mau tidak mau hal itu terpaksa diterima PKS, karena ini soal Gerindra, satu-satunya partai besar yang dianggap paling memahami PKS selama ini.
Itu dulu. Sekarang? Bisa dibilang tidak sama lagi. Tanda bahwa politik itu amat dinamis, bisa berubah dengan cepat, terbukti disini. Apalagi adagium tidak ada kawan yang abadi yang ada kepentingan abadi itu sudah tergambar dengan jelasnya di perpolitikan nasional.
Jika kita posisi politik sekarang, PKS memang seharusnya sudah pasrah ditinggalkan Gerindara. Â Prabowo dan Sandiaga Uno sudah menjadi bagian pemerintah, dan PKS nampak ditinggalkan berdiri sendiri sebagai oposisi.