Beberapa bulan lalu seorang komika yang berasal dari daerah saya hampir dituntut karena dalam salah satu materinya dianggap menyinggung salah satu suku di daerah kami.Â
Rencana tuntutan itu batal, setelah calon penuntut akhirnya mafhum bahwa konteks materi itu adalah komedi, sehingga tidak perlu terbawa serius untuk itu. Lagian sang komika sudah minta maaf.
Sebagai penikmat stand up comedy, saya berpikir komedi itu tidak harus terus diterima dengan terlalu serius, tetapi nikmati saja sebagai hiburan. Akan tetapi ketika nalar serius dan hiburan itu nampak harus berjalan seiring maka anggap saja sebagai sebuah kritikan yang membangun, "pengingat" dengan cara yang menghibur. Begitu saja.
Makanya, roasting ala komika Kiky di depan anggota DPR yang seperti menelanjangi anggota dewan yang terhormat bahkan hanya direspon oleh Fachry Hamzah dan Fadly Zon dengan tersenyum.Â
Hati mereka mungkin sakit setelah dipanggang Kiky, tetapi mereka mungkin sadar ini adalah sebuah hiburan. Ketika rakyat senang dan komedi itu memang sebuah "pengingat" maka wakil rakyat terpaksa pasrah sajalah.
Inilah yang membuat saya menilai bahwa para komika itu cerdas, karena bukan saja mampu membuat orang tertawa, namun pada saat yang sama mengingatkan tentang realita kehidupan, bahwa ada yang salah secara personal, secara sosial, hukum dan sebagainya.
Sekali lagi bagi saya, ini adalah sesuatu yang dibilang cerdas. Memilih materi, dan mengeluarkan frasa yang menggelitik tetapi bisa sekaligus "menyayat" , mengkritik dan mengingatkan tentang hal yang penting. Itu adalah sesuatu yang hebat.
****
Pendapat yang sama juga saya berikan ketika harus mengomentari materi komika Bintang Emon saat bicara tentang tuntutan hukum terhadap pelaku penyiraman air keras kepada Novel Baswedan.
Saya tidak mau bicara lebih banyak tentang dasar tuntutan dari jaksa yang aduhay tersebut, tetapi saya ingin mengomentari kecerdasan Bintang Emon memilih frasa dalam materi komedinya yang terbilang apik ini.