Tentu dengan karakteristik positif dari temperamen ini yakni berbakat pemimpin, dinamis, berkemauan kuat, memancarkan keyakinan, visioner, tegas, disiplin.
Sehingga  menjadi sedikit aneh bagi beberapa orang , jika si Kolerik yang anti sensitif ini berubah menjadi sensitif dan menjadi lebih suka meminta maaf. Â
Temperamen yang sensitif ini dalam Pemikiran Hipokrates yang  dimunculkan pada abad ke-20 oleh tokoh-tokoh seperti Tim Lahaye dan Florence Littauer lebih mengarah ke temperamen melankolis atau melankolik.
Artinya, menerima Prabowo sebagai seseorang yang berada di antara kolerik dan melankolik sungguh  akan membingungkan dari perspektif politik.
Meminta maaf dan menjadi melankolik memang bukan mutlak sebagai sebuah kelemahan, namun untuk kepentingan politik, itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang kontraproduktif.
Baca Juga :Â Dua Mata Pisau dari Arahan Evaluasi Total PSBB Jokowi
Taklimat Prabowo dianggap sebagai sebuah simbol Melankolik.Â
Maka jangan heran, ketika taklimat Prabowo yang intinya meminta kader Gerindra harus full team, full heart mendukung Jokowi di dalam pemerintahan, maka membuat semua pihak terkejut, terutama para pendukung fanatiknya.
Ada apa ini? Bukankah saat ini bisa dilihat sebagai kans oposisi untuk mengambil kesempatan ketika Jokowi dianggap lemah dari sisi kepemimpinan, apalagi kaum oportunis juga mencoba menggaungkan impeachment Jokowi, meski gaungnya lemah karena masih tidak logis.
Bagi pendukungnya, meski sudah menjadi menteri, Prabowo tetap menjadi figur yang diharapkan untuk dipuja puji demi 2024.Â
Sehingga faksi ini lebih memilih agar Prabowo untuk tetap diam daripada mengeluarkan taklimat dukungan  untuk Jokowi.