Jika salah pemahaman tentang free to air ini benar demikiam, kualitas Dewas TVRI memang perlu dipertanyakan.
Kedua, soal tayangan Discovery Channel yang dianggap terlalu banyak dibandingkan tayangan lokal akibatnya dinilai tak sesuai jati diri bangsa oleh Dewas.
Soal ini, Dewan Direksi menjelaskan bahwa siaran program asing di TVRI sebenarnya sangat sedikit atau hanya sekitar 0,06 persen dari total siaran.
"Jumlah program asing yang tayang di TVRI bukanlah sefantastis seperti yang dilaporkan oleh Dewan Pengawas," kata Apni.
"Tahun 2019, jumlah program asing yang tayang hanya 478 jam atau hanya 0,06 persen dari jumlah jam tayang TVRI, yaitu 7.847 jam setahun atau kira-kira 8.000 jam per tahun," tambah Apni.
Selain itu, keinginan agar TVRI menjadi lembaga penyiaran publik (LPP) berkelas dunia dianggap telah melangkah ke depan ketika ada network yang terjalin dan terbangun saat menayangkan tayangan internasional atau dari luar negeri meski dalam jumlah yang tak banyak.
Memang isu soal tayangan yang menunjukan jati diri bangsa ini sempat viral karena kritikan Dewas tentang buaya Afrika di Discovery Channel dan Liga Inggris. Namun, jika fakta bahwa tayangan ini amat sedikit di TVRI, maka koreksi memang perlu diberikan kepada Dewas.
Oleh karena itu, jika merujuk kepada kedua hal ini, maka tergambarkan bahwa Dewas lebih banyak memiliki prasangka tanpa dasar yang mencukupi, bahkan dapat dianggap tidak memahami konsep transformasi yang telah dilakukan Helmy Yahya dan Dewan Direksi.
Baca Juga : Tiga Pembelaan Ngawur Dewas TVRI
Lalu apa dan bagaimana sekarang?
Tujuan dari Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR adalah upaya untuk mendapatkan informasi yang berimbang dan komprehensif tentang kisruh yang terjadi.