Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Naturalisasi, Senjata atau Bumerang Anies Baswedan untuk Jadi Calon Presiden 2024?

6 Januari 2020   07:03 Diperbarui: 20 Januari 2020   05:17 2776
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sah-sah saja jika ada yang suka dan tidak suka dengan Anies Baswedan berkaitan dengan kebijakannya soal banjir, hal yang wajar bagi tokoh atau pemimpin publik. Pendukung fanatiknya bahkan mengapresiasi dengan menyebutnya gubernur rasa Presiden. Sebenarnya jika program naturalisasi sungainya berjalan, mereka bisa bergembira karena Anies bisa saja mulus jadi Presiden 2024. 

Krisis di Indonesia tak kunjung berkesudahan, namun lebih baik menyalakan lilin ketimbang mengutuk kegelapan, bergerak melakukan sesuatu.

Itu adalah kutipan dari buku biografi Anies Rasyid Baswedan. Salah  satu biografi tokoh yang saya baca dengan antusias (saat itu), isinya memang menggugah karena Anies adalah penggagas dari salah gerakan mencerdaskan yang hebat dalam tajuk Indonesia Mengajar.

Sekarang tokoh itu sudah menjadi Gubernur DKI Jakarta, dan akan menjadi kandidat Presiden 2024. Gubernur bermimpi menjadi Presiden, masih bermimpi belum berasa.

Soal mimpi, saya akui Anies memang jagonya. Anies mantap menceritakan mimpinya, mampu mengkomunikasikan dengan baik mimpinya tentu dengan hidangan sedap berisi kata-kata.

Sah-sah saja karena menata kata itu adalah modal utama seorang pemimpin pada zaman kuno.

Di Inggris sejak abad XIX, seorang pemimpin haruslah seorang orator ulung. Perdana Meteri (PM) Inggris William Gladstone punya "Sihir" kuat saat berpidato. Gladstone memimpin kabinet sampati empat kali, yaitu 1868-1874, 1880-1885,1886 dan 1892-1894.

Maka tak heran, seorang filsuf dan sejarawan Thomas Carlyle (1975-1881) mengatakan bahwa tidak seorang Inggris punakan dapat menjadi seorang pemimpin sampai ia membuktikan dirinya mempunyai kemampuan menata kata.

Namun, kata-kata indah tersebut yang berapi-api dan bombastis bukan lagi zamannya ketika revolusi berakhir dan demokrasi tersemai. Rakyat mulai berpikir dua kali memilih pemimpin yang masih terus bergerilyah di tataran wacana. Seribu ide dan gagasan berkesan percuma tanpa tindakan nyata.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun