Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gereja Minggu dan Gulai Aba Hasan Somad

18 Agustus 2019   12:54 Diperbarui: 20 Agustus 2019   20:19 2063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Gulai Kambing I Gambar: bango.co.id

Waktu sudah menunjukan pukul 07.45 WITA, saya sedang bersiap berangkat ke gereja, entah sudah menjadi kebiasaan selain Alkitab saya juga perlu memastikan handphone juga perlu dibawa. Saya memang berasal dari keluarga yang konservatif banget, meski HP sudah terinstall aplikasi Alkitab, tapi saya merasa kurang sreg jika tidak membawa alkitab berbentuk buku tersebut.

Tak biasa di hari minggu, HP saya berdering, tertulis nama Aba Hasan di situ.

"Halo Aba..karmana aba?" ujar saya memastikan orang yang menelepon langsung bicara to the point.

"Halo om Arnold..su pulang gereja ko?" balas Aba.

"Belum aba..beta baru mau gereja kedua jam 8."

"Ohh...naa bae...sebentar siang, jam 11 begitu abis gereja ke rumah ee."

"We..ada makan-makan kah aba?" tanya saya kegirangan.

"Biasa...masih ada kambing kemarin...jadi maitua (istri) ada buat gulai" kata Aba.

"Siap aba..abis gereja, beta meluncur."

Handphone tertutup, saya juga langsung memastikan HP salam keadaan silent.

Entah kenapa tawaran gulai kambing dari Aba Hasan membuat semangat bergereja saya berkali lipat, berharap cepat selesai, dan bersiap menikmati gulai buatan istri Aba Hasan.

Puji Tuhan, meski sempat terpecah konsentrasi, sari khotbah dari pendeta gereja tradisional tempat saya berjemaat masih saya ingat.

Kisahnya terambil dari Kitab Bilangan, tentang Yosua dan seorang pengintai yang sedang mengintai negeri Kanaan. Dari kedua belas pengintai, Yosua dan temannya itu yang memberikan berita positif bahwa negeri itu akan diberikan Tuhan. Kesepuluh pengintai yang lain hanya memberikan ketakutan dan pesimisme.

Pesan khotbah ini mirip sekali dengan pesan Jokowi di hari Kemerdekaan, kita harus terus menebar optimisme, jauhkan pesimisme atau pesan yang dapat melemahkan dan memecah belah. 

Sampai di poin pesan khotbah, jika mau jujur saya memang sedikit terpaksa untuk serius mendengarnya, pendeta emeritus (pensiunan) perempuan yang membawakan khotbah ini wajahnya mirip dengan ibu saya, jadi saya seperti mendengarkan petuah orang tua, makanya saya serius.

Ibu saya memang turunan dari pendeta di zaman Belanda, duduk harus rapi di meja makan, sama juga serapai duduk di gereja. Suara ibu saya sampai sekarang masih terdengar menggelegar hingga usianya hampir mencapai 80 tahun sekarang, padahal Belanda sudah jauh dan Indonesia sudah merdeka.

Setelah selesai bergereja, langkah saya sempat diperlambat dengan antrian anak Sekolah Minggu yang hendak masuk ke ruangan kebaktian. Puluhan anak-anak kecil ini berbusana adat dengan kain motif indah dari berbagai suku di NTT.

Nampaknya, hari ini Sekolah Minggu bertemakan kemerdekaan, pipi beberapa anak Sekolah Minggu bahkan ditempeli stiker merah putih, untuk menyambut anak-anak tersebut, sang organis memperdengarkan lagu perjuangan, nada yang sedang dimainkan lagu 17 Agustus.

Gereja saya yang tradisional itu memang begitulah. Meski terlihat lamban dengan musik mendayu-dayu dan penuh khidmat, tetapi soal-soal yang seremonial begini, tak mau kalah, semangat nasionalisme harus dimiliki oleh jemaat gereja dari orang dewasa sampai anak-anak.

Saya sempat tertegun, ingatan saya bergerak ke arah tahun 45, tapi tiba-tiba, agenda utama hari ini, membuat saya kembali mendarat mulus ke daratan. Hari ini ada Gulai Aba Hasan.

Tak perlu lama, berganti pakaian lebih santai, saya sudah dalam perjalanan menuju rumah Aba Hasan.

Oh iya, perkenalkan Aba Hasan, panggilan Aba memang sering kami pakai kepada rekan muslim yang sudah lebih tua. Di kantor, di papan nama Aba bertuliskan Hasan S, terkadang kami memplesetkan S itu dengan Soeharto, terkadang juga Somad, Aba memang katanya senang mendengar khotbah Ustaz Somad, jadi dia lebih okay dipanggil Hasan Somad daripada Soeharto, meski aslinya adalah Hasan Solaiman.

Usianya sudah di awal 50-an, mendekati 55 tahun. Meski begitu jiwanya muda, wajahnya juga awet, katanya dia disipilin tidur malam. Jam 8 atau jam 9 malam, dia sudah tidur, dan bangun di pagi hari, untuk sholat.

Aba memang taat sholat lima waktu, kabarnya sudah dua kali aba naik haji, selain dipanggil Hasan Somad kami juga memanggilnya dengan panggilan pak Haji.

Aba itu juga asyik, Aba memperlakukan kami yang muda sebagai teman, kami juga segan pada Aba, kami menghormati Aba.

Saya dan Aba senang melakukan kuliner bersama, sering di hari Jumat kami berkeliling mencari tempat makan terbaru yang enak dengan memakai mobil baru Aba yang tergolong mewah. Aba memang pekerja keras, tak heran dia bisa membeli mobil yang lebih bagus, tetapi sikapnya tetap sederhana.

Saya ingat betul ketika kami di suatu Jumat hendak menikmati sup kepala Ikan di daerah pelabuhan yang terkenal, mesti menunggui Aba selesai sholat dulu. Biasa saja dan kami enjoy.

Kami menunggui Aba ibadah Jumat di parkiran masjid, lalu baru makan bersama. Memang jika keluar bersama di hari Jumat, kami selalu ingat bahwa Aba harus sholat, sehingga oke-oke saja, jika harus menunggui Aba sebentar.

Aba terkadang kurang enak hati dengan kami yang tak seagama. Pernah suatu kali ada acara akikah atau apa namanya, saya lupa, lalu Aba meminta kami untuk datang jangan terlalu cepat karena ada sholat bersama yang lama. Dia menyarankan agar kami datang mendekati jam makan saja.

Kami ternyata tetap datang terlalu cepat, sholatnya memang lama, Aba terlihat tak enak hati, kami sih aman-aman saja, lagian tak masalah, dan tak selalu begitu.

Sikap kami memang adalah respons terhadap Aba yang sudah memberikan contoh terlebih dahulu. Natal kemarin, belum ada SMS ucapan selamat Natal, Aba terlebih dahulu memberikan ucapan selamat di tanggal 24 Desember pagi. Saya senang mengerjai Aba dengan mengatakan belum Natal, Aba tertawa dan mengatakan daripada lupa, lebih baik lebih cepat, kami tertawa.

Sayangnya, Aba jarang sekali ke rumah, Aba biasanya di libur Natal pulang ke kampungnya di Flores, saya salut, karena terkadang kampungnya tak menangkap sinyal HP, artinya Aba perlu mencari tempat tertentu untuk mengucapkan selamat hari raya.

Sepertinya Aba atau kami sepakat bahwa agama bukanlah sekat, dan setuju bahwa pengamalan dari nilai-nilai agama itu nampak dari relasi yang harmonis antar kami, taka da saling benci, taka da saling curiga, saling mengolok yang ada saling mengasihi. Tak lebih tak kurang.

Kembali ke soal gulai kambing olahan Aba. Jika harus menilainya saya menilainya dengan kata istimewa. Sup gulai Aba amat gurih dan dagingnya dimasak dengan sempurna. Terkadang gulai itu terlalu asin, tetapi gulai Aba, pas.

Rasa-rasanya tak ada gulai kambing di Kupang yang menyamai olahan istri Aba, meski di Kupang pernah terkenal gulai dari daerah Bonipoi yang telah menjadi legenda. Entah gimana kunyit, serai, daun salam dan daun jeruk diolah bersama bawang, kayu manis, yang penting sedap sekali di lidah.

Istri Aba memang pandai memasak, berasal dari kampung Muslim bernama Airmata, wanita di sana memang pandai mengolah makanan. Cerita Aba, dia jatuh cinta pada istrinya juga gara-gara gulai ini. Aba terkadang berlebihan.

Kami memang sudah beberapa kali menikmati sajian gulai di rumahnya Aba. Menikmati gulai sambil berbincang, nikmatnya terkadang tak ada taranya. Perbincangan kami mulai diisi soal bola hingga politik, meski untuk politik Aba lebih banyak diam. Aba memang tak suka bicara politik, padahal banyak kerabatnya yang jadi anggota dewan.

Soal bola, Aba adalah pengagum Lionel Messi. Alasan Aba cuma satu, Messi terlihat tidak sombong dibandingkan dengan Ronaldo. Jika Barca dan Messi kalah seperti kemarin ketika melawan Bilbao, kami memilih diam, Aba memang tidak tersinggung jika disindir, hanya Aba tidak akan menawarkan kami untuk wisata kuliner lagi. Sebuah kesialan bagi kami.

"Halo Aba.." Saya sudah sampai di pagar rumah Aba. 

Aba tersenyum dengan peci hitam di kepalanya.

"Sendiri Om Arnold?"

"Iya Aba.."

Aba langsung mempersilahkan saya untuk duduk di sekitar meja makan di ruang keluarga yang cukup luas. 

Istrinya yang berhijab keluar dari dapur membawa semangkok besar gulai berwarna kuning kecoklat-coklatan dan meletakannya di atas meja. Ada juga sepiring kecil berisi cabe merah dengan jeruk nipis dan sepiring asinan. Pasangan mantap bagi gulai kambing.

"Tadi pulang gereja jam berapa Om?"

"Jam 10 lebih Aba.."

"Barca gimana Aba.."

Kami mulai larut dalam perbincangan.

Aha.. nikmat apa yang harus didustakan. Bergereja sudah, dan siang ini menikmati gulai kambing bersama Aba Hasan Somad, eh, Sulaiman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun