Mohon tunggu...
Arnold Adoe
Arnold Adoe Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Kayu Setengah Hati

Menikmati Bola, Politik dan Sesekali Wisata

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Bukan Soal Harga Listrik yang Murah, Inilah Persoalan Utama PLN

6 Agustus 2019   18:03 Diperbarui: 7 Agustus 2019   04:57 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Listrik I Gambar : Kompas.com

Dalam sebuah diskusi milis, saya sempat membaca komentar dari seseorang tentang alasan mengapa Indonesia sering mati listrik. Alasannya sederhana karena harga listrik yang diberikan sebenarnya tidak ekonomis untuk peningkatan layanan.

Jika kita hubungkan dengan kejadian black out kemarin, mungkin saja itu benar. Menurut penjelasan resmi PLN pemadaman yang terjadi lebih dari 10 jam ini terjadi akibat gas turbin satu sampai dengan enam Suralaya mengalami gangguan atau trip.

Perlu investigasi mendalam, tetapi patut diduga kualitas device mungkin berpengaruh, karena alasan harga yang tidak ekonomis itu.

Selain biaya operasional, tentu perlu biaya untuk peningkatan infrastruktur. Dengan jumlah penduduk yang semakin bertambah tentu perlu peningkatan kapasitas dan kualitas yang membutuhkan biaya.

Oleh karena itu, muncul sebuah pertanyaan, apakah harga listrik di negara kita terlalu murah?

Jika merujuk pada berbagai sumber resmi, dapat dikatakan bahwa tarif listrik di Indonesia memang tergolong murah.

Pada Agustus 2018, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis bahwa tarif listrik di Indonesia termurah di ASEAN dan tergolong termurah di dunia.

Dartanya sebagai berikut, jika tarif listrik Indonesia, rata-rata sebesar USD 11,1 sen per kilo Watt hour (kWh), maka jauh lebih murah ketimbang Malaysia dengan USD 12,9 sen per kWh, Thailand USD 13,5 sen per kWh dan Filipina tarif listriknya, rata-rata USD 18,67 sen per kWh.

Untuk jenis pengguna bisnis besar, tarif tenaga listrik di Indonesia dengan 8,36 sen USD/kWh, bila dibandingkan konsumen kelas yang sama di Singapura yang mencapai 14,02 sen USD/kWh, Vietnam 11,98 sen USD/kWh, Thailand 11 sen USD/kWh, Filipina 11,98 sen USD/kWh, dan Malaysia 9,6 sen USD/kWh.

Bahkan pada Agustus 2018 itu, melalui Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Agung Pribadi, Kementerian ESDM mengatakan dari tarif listrik 190 negara Indonesia masih berada dalam kelompok 10 negara dengan tarif listrik termurah. Didasarkan dari data Bank Dunia, pada poin kemudahan investasi.

Ada sebuah hal menarik dari berita tentang sanjungan akan murahnya harga listrik di negara kita, yaitu bagaimana bisa mencapai harga semurah itu? Kata kunci yang terkuak adalah efisiensi. Efisiensi dalam hal pemeliharaan, atau dengan cara hybrid atau berhemat.

Apakah karena efisiensi itu menjadi salah satu penyebab kinerja peralatan yang menurun?

Secara logis, hal itu bisa terjadi. PLN berusaha mempertahankan tarif listrik agar tidak naik kepada konsumen, dengan cara efisiensi, namun tidak sanggup menyiapkan langkah untuk mencegah dampak-dampak yang tidak diinginkan.

Lalu apakah solusi menaikan harga listrik menjadi salah satu yang harus dipertimbangkan?

Jawabannya iya, tetapi harus diakui bahwa bisa saja penyebab utama bukan itu.

Apa maksudnya?

Persoalan yang mengemuka sekarang adalah sistem manajemen, termasuk personil yang ada di PLN yang menjadi sorotan utama seiring dengan peristiwa black out ini.

Ditengarai bahwa sebagai BUMN yang bekerja solo, tanpa kompetitor, PLN kemungkinan besar lemah dari sisi evaluasi untuk menciptakan BUMN yang sehat.

Peristiwa black out ini dapat menjadi jalan terang untuk mengatakan bahwa PLN tidak sehat.

Bukankah itu yang nampak dari kasus korupsi yang sedang dialami oleh Dirut PLN Sofyan Basir, yang membuat publik semakin mafhum bahwa hal itu memang sedang terjadi.

Personil-personil di dalam PLN juga harus profesional, lepas dari kepentingan segelintir kelompok yang mungkin saja ingin mereguk keuntungan dari BUMN yang nampak tidak dapat disentuh ini.

Artinya, kenaikan harga, hanya bisa dapat dipertimbangkan jika ada transparansi dari sisi manajemen, perubahana sistem maupun pemilihan direksi yang dipercaya publik adalah orang-orang yang betul-betul profesional, secara teknis dan bukan saja bernafsu profit semata.

Jika tidak mau berubah, PLN tetap akan mengalami persoalan yang sama di masa depan.

Sumber : 1

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun