Akan tetapi, sebaliknya bagi kubu Prabowo nampaknya menganggap bahwa rekonsiliasi adalah sesuatu yang amat formal bukan sekedar simbolik sesederhana minum kopi, bahkan dianggap sebagai sebuah pertemuan politik tingkat tinggi yang sarat dengan pembagian kekuasaan. Power sharing.
Di dalam politik yang cair hal itu sebenarnya biasa dan bisa saja terjadi. Persoalannya adalah kubu Prabowo tidak mau melihat rekonsiliasi adalah simbol pengakuan kekalahan dan masih ingin mencitrakan diri sebagai oposisi yang punya harga diri yang terus berhasrat menjadi penyeimbang bagi pemerintahan ke depan.
Perbedaan-perbedaan paradigma ini harus diakui semakin tajam ketika ada aksi demonstrasi dan aksi rusuh yang terjadi pada 22 Mei yang lalu. Opini-opini yang menguatkan pandangan-pandangan ini terus bergulir dengan amat cepat, dalam berbagai dialog di media televisi atau sosial media.
Akibatnya, harapan baik dari rakyat Indonesia agar Jokowi dan Prabowo dapat segera bertemu di momentum Ramadhan kali ini urung terjadi.
Dari diskusi dan dialog yang berkembang yang menguatkan paradigma-paradigma di atas, nampaknya jika bicara waktu, kedua pemimpin baru akan bertemu sesudah keputusan MK pada akhir Juni mendatang.
Kita tentu saja berharap, apapun keputusannya nanti, kapanpun pertemuan atau rekonsiliasi itu dilaksanakan, kehidupan berbangsa dan bernegara kita dapat kembali sejuk dan teduh, sehingga persatuan dan kesatuan anak-anak bangsa dapat terjalin kembali.
Salam