Lelaki dengan wajah keras ini membawakan secangkir kopi untuk saya. Meskipun terlihat sopan, pikiran saya membawa kepada sebuah tanya, Siapakah dia? Tulisan yang sudah terlihat buram di belakang baju kaosnya tidak membantu menjawab pertanyaan saya.
"Terima kasih om" kata saya, berusaha juga untuk sopan. Tak ada jawab lisan darinya, sedikit senyum dengan anggukan kepala pelan sudah cukup menandakan bahwa dia mendengar ucapan saya.
 "Nius, jangan lupa sebentar angkat gelas ya" ucap Bapak Joni, salah satu staf di Lapas ini yang mendampingi saya. Oh, namanya Nius. Om Nius. Salah satu Napi di Lapas.
***
Untuk pertama kalinya saya menjejakan kaki di Lapas. Tugas saya adalah membantu memberikan materi dan praktek sederhana terhadap para warga binaan Lapas mengenai konstruksi kayu dan batu sebelum mereka nantinya akan disertifikasi.
Pengamanan berlapis harus dilewati sebelum masuk ke dalam kompleks dan aula Lapas di pagi itu. Tak ada pengarahan berlebihan oleh penjaga gerbang, setelah diberikan tanda pengenal sebagai tamu, saya sudah dibolehkan masuk. Tak terlihat juga banyak petugas berkeliaran dalam perjalanan saya ke aula, yang nampak adalah beragam wajah para penghuni Lapas. Tersenyum, diam dan memandang tajam ke arah saya.
Saya takut? Gambaran tentang kehidupan penjara yang nampak di film-film sedikit mempengaruhi saya. Seperti asumsi bahwa pasti ada Physical Violence di tempat ini. Orang di tempat ini telah terbiasa dibentak, ditendang, dipukul, ditempeleng dan menderita secara fisik.
Bagaimana bisa saya dapat memengaruhi mereka, jikalau pelatihan yang saya maknai selama ini adalah soal memberikan pengaruh?
Pikiran saya masih terus melayang-layang sesudah berada di dalam Aula. Setiap orang selain panitia selalu menghadirkan tanya, termasuk Om Nius, yang menyajikan secangkir kopi pada saya.
Bahkan ketika sekitar 40 orang Napi yang disebut sebagai warga binaan sudah berkumpul di ruangan untuk mendapatkan materi, saya masih terus berpikir. Apakah sesama narapidana saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan di dalam Lapas ini? Apakah ada kelompok-kelompok yang saling berkelahi menimbulkan kekerasan karena dipicu persaingan antar kelompok/geng?
"Mereka kami pilih yang baik-baik pak Arnold" ujar Om Joni, seperti membaca kerutan di dahi saya, mencoba menenangkan.