Pertumbuhan China
Seorang kerabat kental, EYTA, berbagi video tentang The End of China Inc. Isinya diawali dengan fenomena Ghost House (hunian yang sudah selesai dibangun tetapi tanpa penghuni) di China. Kondisi "oversupply" hunian termasuk juga sarana infrastruktur di China tidak lepas dari strategi stimulus perekonomian yang dipilih pemerintah PRC (People Republic of China) pasca Krisis Finansial 2008. Dengan menggelontorkan dana sekitar USD 586 Miliar, pemerintah China berharap mempertahankan pertumbuhan ekonomi "double digit". Tema yang digunakan : Bangun dulu, permintaan (entah ada) kemudian; atau "Whatever I takes but Build"; mirip semboyan Quantitative Easing ala Mario Graghi, European Central Bank : "Whatever It Take To Preserve the Euro".
Memang untuk sementara pertumbuhan double digit China dapat dipertahankan; tetapi "Siklus Ekonomi" tidak dapat dilawan dan China harus mengalami kondisi alamiah yaitu "normalisasi" (baca : Penurunan) pertumbuhan ekonomi. Tetapi apakah kondisi tersebut mempengaruhi perekonomian Indonesia ? Peraga-1 memberikan gambarannya dengan pengujian faktor saling ketergantungan (korelasi).
Dari Peraga-1 ditunjukkan bahwa tren pertumbuhan China turun sedangkan Indonesia naik dengan faktor korelasinya negatif 0.54 yang artinya arah pertumbuhan berlawanan. Kondisi yang sama dialami Turki (faktor : negatif 0.54) dan India (faktor : negatif 0,41). Sementara pertumbuhan Brazil (positif 0,87) dan Afrika Selatan (positif 0,75) sangat dipengaruhi pertumbuhan China (ingat : BRICS, walaupun India termasuk tetapi ternyata tidak bergantung).
Normalisasi Fed Rate
Setiap pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) The Fed, normalisasi (baca : kenaikan Fed Rate atau Fed Fund Rate) selalu dikaitkan dengan penguatan Dolar Amerika (USD), melanjutkan fenomena USD Strong. Kenaikan terakhir terjadi pada Desember 2015 sebesar 25 basis poin dan Fed Fund Rate menjadi 0,5%. Untuk melihat dampak normalisasi Fed Rate, Peraga-2 memberikan gambaran dengan perbandingan perubahan berdasarkan indeks nilai tukar (Real Effective Exchange Rate) yang diterbitkan secara bulanan oleh Bank for International Settlement (BIS).Â
Dari Peraga-2, angka perubahan (dalam prosen) didapatkan dengan menghitung rerata indeks sepanjang 2016 dibandingkan rerata indeks masa 2014-2015 untuk mata uang dari masing-masing negara sesuai daftar. Berdasarkan urutan prosentase perubahan (positif berarti indeks naik, negatif berarti turun), indeks mata uang Rupiah naik dan kinerjanya berada pada peringkat-3 (setelah Yen Jepang dan USD); diikuti Rupee India, Renminbi China, Peso Phillipines. Sedangkan indeks mata uang Peso Chile, SGD Singapore dan mata uang lainnya turun. Dengan demikian kenaikan Fed Rate bukan ancaman bagi perekonomian Indonesia khususnya pada nilai tukar.
Deflasi Komoditas
Kondisi deflasi (penurunan harga) komoditas global sering dianggap berdampak pada perekonomian Indonesia. Gambaran Peraga-3 menunjukkan sebaliknya.
Peraga-3 menunjukkan bahwa dalam kondisi deflasi komoditas (tren turun), indeks nilai tukar Rupiah (IDR) naik (garis putus oranye) dan tren inflasi domestik Indonesia turun. Hal ini menunjukkan bahwa ekspor Indonesia bukan bergantung pada komoditas.
Tidak disangkal bahwa perekonomian Indonesia terbuka terhadap global khususnya dalam perdagangan dan sistem keuangan yang penuh dinamika. Tetapi trisula ancaman, Pertumbuhan China, Fed Rate, dan Deflasi Komoditas, yang sering disebut para pejabat pemerintah setingkat Menteri atau Gubernur Bank Indonesia, para pengamat ekonomi dan akademisi bahkan pengusaha ternyata sangat tidak berdasarkan data dan kajian alias Non Sense !
PS. Special appreciation to my dulur Erry for inspiring me writing this article !
Arnold Mamesah - 20 September 2016
Masyarakat Infrastruktur Indonesia - Laskar Initiatives