Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Visi Asia Pasifik dan TPP

17 Februari 2016   16:19 Diperbarui: 17 Februari 2016   17:04 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="VIsi Asia Pasifik dan TPP"][/caption]

Visi Asia Pasifik

Indonesia dan visi Asia Pasifik merupakan "heritage" (harta peninggalan) dari (Alm) G.S.S.J. Ratulangi dalam buku yang ditulis pada 1937 dengan judul : Indonesia in den Pacific : Kernproblemen van den Aziatischen Pacific (Dalam terjemahan bebas Indonesia di Pasifik: Masalah utama dari Asia Pasifik). Sejalan dengan perubahan dan pertumbuhan perekonomian terkini, ternyata visi tersebut menjadi trend global dengan munculnya kerjasama regional sekitar Pasifik seperti Asia Pacific Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC), Regional Comprehensive Economic Partnership(RCEP), dan Trans-Pacific Partmenership (TPP).

Dalam Kompas edisi cetak 17 Februari 2016, pada bagian utama dengan judul : Indonesia Belum Buat Komitmen soal TPP dikutip pernyataan Presiden Jokowi tentang posisi Indonesia terhadap TPP. Sementara pada bagian lain, juga dimuat artikel dengan judul : Perang Diplomasi Dagang di Pasifik.

Pasca deklarasi TPP 5 Oktober 2015,  pada 4 Februari  2016 pakta perjanjian TPP telah ditandatangani di Auckland, Selandia Baru oleh 12 (dua belas) anggota untuk selanjutnya dalam waktu 2 (dua) tahun diratifikasi oleh masing-masing pemerintah. Sementara dalam kunjungan ke Gedung Putih pada 27 Oktober 2015, kepada Presiden US Barrack Obama, Presiden Jokowi menyatakan intensi atau keinginan Indonesia untuk bergabung dengan TPP. (Lihat : TPP Pilihan Cerdas).

Why Not TPP

Dalam perjalanan dengan 12 anggota yang sudah menandatangani pakta TPP, selain Indonesia negara yang sudah menyatakan akan bergabung antara lain : Phillipine, Thailand, Columbia, Taiwan, South Korea. Dengan demikian, jika Indonesia juga kelak bergabung, anggota TPP akan menjadi 18 (delapan belas) atau TPP-18; dan secara keseluruhan mewakili 41% GDP (Gross Domestic Bruto) Global. (Lihat artikel : TPP Memang TOP); sementara untuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA atau AEC : Asean Economic Community) besarnya hampir 4% GDP Global.

Jika dilihat pertumbuhan perekonomian untuk lima tahun mendatang dalam kawasan Asia Pasifik berkaitan dengan anggota TPP-18, selain Latin America (mencakup anggota seperti Chile, Peru, dan Columbia), tren-nya naik sementara China tren pertumbuhannya turun. (Lihat Tabel-1 : GDP Growth Trend).

Sumber Informasi : IMF. 

Rerata pertumbuhan GDP 2011-2015 pada kolom Previous 5-Years' sementara proyeksi rerata pertumbuhan 2016-2020 pada kolom Next 5 Years; Growth Trend Increasing (Naik) jika Next 5-Years lebih besar daripada Previous 5-Years dan sebaliknya Decreasing (Turun). 

Sementara untuk trafik perdagangan maritim (via laut dan container) disajikan pada Grafik-2 : Global Container Statistics.

Sumber Informasi : Container Trades Statistics

Dari grafik-2, dalam area TPP-18 "traffic load" mencapai sekitar 47% dari trafic load global.

Transformasi Dunia Bisnis

Sering disebut bahwa bergabung dengan TPP akan membawa kesulitan bagi dunia bisnis (usaha) domestik terutama akibat aturan atau regulasi transaksi bisnis yang "diharuskan" untuk diberlakukan bagi dunia usaha. Pandangan dan pendapat ini sangat sesat paham dan tidak melihat dari perjalanan dunia bisnis Indonesia. Jika kemudian "US Standard" atau "Japan Way" atau ala spartan South Korea yang akan menjadi rujukan, hal tersebut bukanlah "barang baru" bagi dunia bisnis Indonesia. Kerjasama dalam nuansa Multinational Companies atau juga kemitraan (partnership) telah lama berlangsung misalnya pada sektor "Oil & Gas" (ingat kerjasama Pertamina dengan The Seven Sisters atau juga dengan perusahaan internasional lain seperti Shell, Total), sektor perbankan (misalnya : Citibank, Bank of America, Standard Chartered Bank, Bank of Tokyo), sektor teknologi informasi dan telekomunikasi (IBM, HP, DEC, AT&T, NEC), sektor manufacturing & automotive (industri tekstil Jepang, produsen mobil Jepang seperti Toyota-Astra, Nissan - Indomobil, Honda Prospect Motor).

Kendala dalam perubahan adalah resistensi pelaku bisnis yang selalu ingin mendapatkan proteksi namun kemudian malah akan menjadikannya tidak "mature" atau dewasa serta tidak efisien bahkan selalu berwawasan domestik. Dalam wawasan TPP, akan sangat terbuka untuk terjadinya kemitraan B2B (Business to Business) tanpa selalu harus mendapatkan proteksi dari pemerintah' dan hal ini dapat menjadi pendorong entitas bisnis Indonesia bertransformasi. Juga, perlu diubah pemikiran dari nuansa kompetisi (competition) menjadi koopetisi (coopertition) yang maknanya bergandengan untuk menghadapi persaingan (Lihat artikel : Kompetisi hasil Marginal atau Koopetisi tapi Optimal).

Pengembangan Sektor Industri Pangan - Lesson Learned

Pada suatu diskusi dalam lingkungan internal "Laskar Initiatives", seorang peserta yang lama berdomisili di Canada menyampaikan pemikiran tentang kerjasama berkaitan dengan pangan dan kemampuan produksi.

Secara umum kemampuan produksi domestik negeri menurun. Berbicara secara kualitatif dan kuantitatif, kenyataannya (1) Kontribusi sektor manufacturing domestik produksi terhadap PDB turun tinggal sekitar 20%; (2) Output dairy-product turun dibadingkan masa sebelum Reformasi; (3) Produksi daging menurun; dan (4) Produksi sektor sandang terutama garmen menurun bukan saja untuk ekspor bahkan untuk domestik juga (terpaksa) impor (utamanya dari China). Secara umum, hanya "palm oil" yang naik sementara produksi komoditas pertanian cenderung turun. Jika dibandingkan dengan era pra-reformasi, hampir 20 (dua puluh) tahun upaya pembangunan industri seakan sia-sia atau mubazir. Indonesia menjadi tertinggal dibandingkan dengan negara dalam kawasan Asean (Thailand, Phillipine) bahkan mulai digerogoti Vietnam serta Kamboja. Kebijakan yang ada justru cenderung membawa kerusakan pada tatanan pengembangan industrialisasi karena dukungan infrastruktur yang lemah juga tanpa panduan "Industrial Tree Strategy" yang terangkai dalam suatu "Supply Chain of Production". Pilihannya tetap dengan cara "Business As Usual" tanpa skenario atau Berubah Berlandaskan Panduan Tatanan Pengembangaan Industri.

Belajar dari pengalaman Canada dan Australia serta New Zealand, saat komoditas "booming" perekonomiannya stabil dan sektor pangan diperkuat. Saat komoditas mengalami deflasi, negara tersebut mampu pulih dengan mengandalkan sektor industri pangan khususnya pada "Grain & Dairy". Intinya, sektor industri pangan dan "consumer goods" serta serta sisi hulunya merupakan industri yang stabil dan langgeng sejalan dengan pertumbuhan populasi.

Bagaimana Indonesia dengan kondisi alam serta iklimnya ? Hal ini justru merupakan faktor "comparative advatage" sehingga Indonesia sangat berpotensi untuk memproduksi produk hulu dan hilir pangan; dengan juga mengundang kemitraan dalam lingkup TPP seperti misalnya Canada, Australia, New Zealand, Jepang dan South Korea.

Ikatan APEC sifatnya partisipatif dan aturannya bersifat persuasi yang tidak mengikat. Sebaliknya TPP sangat ketat dan tegas dalam pengaturan. Data dan fakta serta peluang sangat mendukung dalam mengambil sikap dan keputusan terhadap TPP. 

Bahkan Forest Gump akan berpikir dua-tiga kali untuk bergabung RCEP (Stupid is As Stupid Does !)

 

Arnold Mamesah dalam kolaborasi dengan AH - Laskar Initiatives 

17 Februari 2016

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun