Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tri-As Moneter Bukan Biang Gejolak

2 Desember 2015   16:51 Diperbarui: 12 Desember 2015   12:23 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan stimulus (pelonggaran anggaran) sudah menjadi pilihan. Dampaknya penerimaan negara (melalui pajak) akan berkurang dan bahkan tidak memenuhi target. Sementara, program pembangunan pemerintah harus tetap berlangsung agar dunia usaha serta pihak swasta terus terdorong untuk melakukan kegiatan usaha. Rangkaian paket stimulus (sudah 6 jilid) yang diluncurkan sejak awal September 2015 belum akan segera meningkatkan nilai investasi langsung (Foreign Direct Investment). Sementara dari sisi anggaran pemerintah diproyeksikan, defisit anggaran akan mencapai 2,7% yang akan ditutup dengan pinjaman multilateral (ADB, World Bank). 

Penambahan utang akibat defisit ini tidak perlu dicemaskan karena defisit 2,7% masih dibawah ambang batas 3%. Sementara penambahan utang pemerintah tidak akan membuat rasio utang melonjak. Gambaran posisi utang pemerintah terhadap GDP diberikan pada Grafik-3 dengan pembanding dari beberapa negara lain.

Sumber Informasi : IMF DataMapper

Dari grafik-3 beserta tabel, posisi rasio utang publik Indonesia terhadap GDP (Gross Domestic Product atau PDB) : 24,96% (2014), masih jauh dari ambang batas 60%. Sementara rasio negara lainnya jauh lebih tinggi (lihat : Brazil dan India lebih dari 60%). Sudah selayaknya pemerintah bersikap lebih agresif dalam memanfaatkan fasilitas utang agar rencana pembangunan khususnya pengembangan infrastruktur dan industri prioritas dapat terlaksana.

Kebijakan stimulus sudah menjadi pilihan dan penambahan utang untuk menutupi kekurangan anggaran. Kebijakan ini akan berhasil mencapai sasaran berupa peningkatan kegiatan usaha jika ada dukungan "Easy Money Policy" moneter. 

Dunia usaha sangat membutuhkan kredit perbankan untuk ekspansi usaha dengan tidak terbebankan suku bunga tinggi. Jangan sampai terulang lagi dunia usaha memanfaatkan "external loan" dengan "low interest rate" tetapi harus menanggung dampak depresiasi nilai tukar dan berimplikasi pada "Balance Sheet Recession" atau Resesi Neraca (Lihat artikel : "Spiral Deflasi" dan "Currency Wars" yang Berbuah Krisis).

Berdasarkan posisi akhir September 2015, cadangan devisa BI yang likuid besarnya USD 11,2 miliar. Jumlah tersebut diprakirakan tidak cukup mampu menahan apabila terjadi gejolak penarikan dana dari pasar saham dan pasar uang yang selanjutnya dikonvesikan menjadi USD serta menimbulkan capital flight. Situasi ini (mungkin) sangat dicemaskan Bank Indonesia.

Gejolak pasar keuangan global terus terjadi. Sikap konservatif atau "over prudent" Bank Indonesia akan membuat dunia usaha terus berada dalam tekanan sehingga ekspansi usaha tidak berlangsung. Implikasinya akan dirasakan pada beberapa tahun mendatang berupa tekanan pada pertumbuhan perekonomian.

Demikianlah untuk dikaji dan dicerna namun setidaknya sudah disampaikan.

 

Arnold Mamesah - Laskar Initiatives

Hari kedua Desember 2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun