Mohon tunggu...
Arnold Mamesah
Arnold Mamesah Mohon Tunggu... Konsultan - Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomics - Intelconomix

Infrastructure and Economic Intelligent - Urbanomic - Intelconomix

Selanjutnya

Tutup

Money

Insentif PPh Revaluasi Aset Solusi Keliru

24 Oktober 2015   00:08 Diperbarui: 24 Oktober 2015   00:41 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Revaluasi dan Insentif

Dalam paket stimulus ekonomi jilid-5 yang diterbitkan pemerintah pada 22 Oktober 2015, Insentif Pajak atas Revaluasi Aset termasuk salah satu kebijakan untuk memberikan tambahan penerimaan pajak sebesar 10 Triliun Rupiah. Sekilas kebijakan tersebut menjanjikan, tetapi jika ditelaah ada permasalahan lebih besar yang belum disentuh dan ditangani yaitu Problem Resesi Neraca Perusahaan atau Korporasi termasuk Perbankan (Corporate Balance Sheet Recession).

Revaluasi Aset dilakukan dengan penilaian ulang atas aset korporasi berdasarkan persetujuan pemerintah dan menggunakan jasa perusahaan penilai yang sudah memperoleh ijin pemerintah juga. Aset korporasi yang nilainya dicatat pada Neraca (Balance Sheet) korporasi yang semula sebesar misalnya Rp. 100 miliar, setelah revaluasi menjadi misalnya Rp. 200 miliar. Terhadap kenaikan nilai kekayaan korporasi, dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang semula 10%, dengan terbitnya paket stimulus jilid-5, besarnya 3% - 6%, disesuaikan dengan waktu pembayaran PPh tersebut.

Masalah Resesi Neraca Korporasi dan Investasi

Neraca keuangan korporasi terdiri dari 2 (dua) sisi; sisi aset dan sesi kewajiban serta ekuitas yang masing-masing jumlahnya setimbang (balance). Aset tetap korporasi nilainya ditentukan pada saat perolehan dan dicatat pada sisi aset neraca. Dalam perjalanan waktu, nilai aset tersebut dapat saja naik sejalan dengan harga yang berlaku.

Sementara utang korporasi dicatat pada sisi kewajiban; dan jika berbentuk valuta asing (valas) nilainya dalam Rupiah dihitung menggunakan kurs tukar sesuai penetapan Bank Indonesia. Permasalahan timbul saat terjadi depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap. Sebagai contoh, jika pada Januari 2011 korporasi berutang USD 100 Juta, dengan kurs tukar USD 1 = Rp. 9.000, utang yang dicatat besarnya (100.000.000) * (9.000) = Rp. 900.000.000.000,- atau sembilan ratus miliar rupiah. Dengan asumsi jumlah utang tidak berubah, pada 31 Desember 2014, dengan kurs tukar misalnya USD 1 = Rp. 12.400, utang tersebut menjadi (100.000.000) * ( 12.400) atau Rp. 1.240.000.000.000,-, dibaca Satu Triliun Dua Ratus Empat Puluh Miliar. Sehingga terjadi kenaikan sebesar 37.4% dari pokok, tanpa menghitung kewajiban bunga.

Karena sisi aset harus sama dengan jumlah sisi kewajiban serta ekuitas, timbul masalah pada neraca korporasi. Menghadapi situasi seperti ini, korporasi cenderung akan melakukan tindakan antara lain mengutamakan pembayaran pokok utang beserta kewajiban bunga, menghindari utang baru atau tambahan, melakukan penghematan dan pengurangan biaya termasuk beban upah dan pengurangan tenaga kerja, menghindari kegiatan investasi dan perluasan usaha. 

Sebagai gambaran pertumbuhan investasi masa Agustus 2014 - Agustus 2015 diberikan pada 2 (dua) tabel berikut ini

Tabel-1

Tabel-2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun