Mohon tunggu...
Arnold Japutra
Arnold Japutra Mohon Tunggu... Dosen - Edukator

Pemerhati dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masalah Mendasar yang Menghambat Revolusi Mental

27 September 2017   06:46 Diperbarui: 27 September 2017   08:38 2750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Indonesia baru saja merayakan dirgahayu RI yang ke-72. Ya, bayangkan, Indonesia telah merdeka selama 72 tahun. Namun, apakah Indonesia sekarang ini telah dianggap sebagai "developed country" atau masih dianggap sebagai "developing country"? Apakah masalah Indonesia adalah sumber daya alam? Jawabannya tidak. Salah satu lembaga pemerintah AS, US Geological Survey, mencatat bahwa per tahun 2014, Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai produksi dan cadangan bahan tambang terbesar di dunia.

Lalu, apa masalahnya? Kenapa setelah 72 tahun merdeka, Indonesia masih kalah jika dibandingkan dengan negara lain yang merdeka belakangan? Mari kita bandingkan dengan Korea Selatan, yang merdeka di tahun 1948 (3 tahun setelah Indonesia). Jika kita lihat dari salah satu indikator yang paling sering digunakan sebagai acuan (yaitu: GDP), Indonesia masih jauh tertinggal dari Korea Selatan. Data dari World Bank menunjukkan bahwa di tahun 2016, GDP Indonesia adalah sebesar USD 932.259 billion sedangkan GDP Korea Selatan adalah USD 1.411 trillion.

Sumber daya yang menjadi masalah

Masalah yang dihadapi Indonesia yang paling rumit adalah masalah sumber daya, walaupun bukan sumber daya alam tetapi sumber daya manusia. Hal ini juga telah disadari oleh Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi). Pada bulan Desember 2014, Jokowi mencanangkan Gerakan  Nasional Revolusi Mental. Pentingkah revolusi mental. Saya akan mengutip perkataan William James, seorang filsuf dan psikolog dari Amerika yang dijuluki "Father of American Psychology".

"The greatest revolution of our generation is the discovery that human beings by changing the inner attitudes of their minds, can change the outer aspects of their lives" (Willam James)

Revoulsi mental ini ternyata bagi banyak filsuf dianggap sebagai hal mendasar yang akan menentukan apakah seseorang atau sebuah institusi atau bahkan sebuah negara akan sukses atau tidak. Banyak pula tulisan yang menyatakan bahwa implementasi revolusi mental yang baik harus dimulai dari pendidikan. Pendidikan ini tentunya bisa pendidikan formal dan pendidikan informal. Pendidikan formal didapat dari institusi pendidikan dimulai dari Taman Kanak Kanak (TKK) sampai dengan universitas. Sementara pendidikan informal didapat dari lingkungan, dimulai dari yang paling kecil yaitu lingkungan keluarga sampai dengan lingkungan masyarakat dunia.

Kurangnya peran pendidikan formal

Peran yang diusung oleh pendidikan formal dalam mencapai keberhasilan revolusi mental sangat besar. Menurut World Bank, angka harapan hidup di Indonesia per tahun 2015 adalah 69.07 tahun. Rata-rata orang Indonesia menempuh pendidikan formal kurang lebih selama 12 tahun (SD-SMA). Ini artinya bahwa hampir 20% hidup orang Indonesia dipakai untuk memperoleh pendidikan formal. Namun kenapa gerakan revolusi mental ini masih belum dapat dibilang sebagai suatu gerakan yang sukses?

Hal pertama yang menjadi jawaban adalah kurikulum di Indonesia. Kurikulum di Indonesia ini lebih menekankan pada Intelligent Quotient (IQ) daripada Emotional Quotient (EQ). Saya harus akui bahwa tingkat inteligensi anak-anak Indonesia sangat tinggi. Hal ini didukung oleh pengalaman saya ketika saya mengajar di UK. Namun, jika dibandingkan untuk masalah kreatifitas, anak-anak Indonesia masih jauh di bawah negara lainnya. Belum lagi masalah pengembangan sikap untuk pembentukan karakter yang baik. Apakah ini terdapat di dalam kurikulum sebagian besar institusi pendidikan formal di Indonesia. Saya rasa tidak.

Kedua, kembali kepada masalah "attitude" atau sikap seseorang. Hal ini juga kembali didukung kepada masalah budaya yang telah mendarah daging di kebanyakan masyarakat Indonesia, yaitu senioritas. Apakah senioritas merupakan hal yang buruk? Tidak, jika senioritas itu diartikan sebagai rasa hormat dan respek kepada orang yang lebih tua. Tetapi terkadang senioritas yang terjadi di Indonesia diartikan bahwa seseorang yang lebih muda harus selalu mengalah kepada yang lebih tua.

Senior yang baik seharusnya dapat membimbing yang lebih muda agar mereka dapat mengembangkan potensinya. Tetapi apa yang terjadi kalau si senior malah menghambat kemajuan dikarenakan ingin dianggap sebagai orang yang hebat atau ingin mencari aman. Bahkan hal-hal ini dipraktekkan di institusi pendidikan formal. Sebagai contoh di Universitas, banyak sekali pengajar senior yang tidak bisa menerima kritikan. Jika sistem yang berlaku adalah seperti itu, apakah mungkin gerakan revolusi mental akan berhasil?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun