Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tumbal Arwah Jelangkung - 9

6 Maret 2016   19:25 Diperbarui: 6 Maret 2016   20:20 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Malam terasa sunyi jika hamparan langit tak menampakkan bintang. Hanya bulan purnama bersinar terang meliputi alam semesta. Seekor kucing hitam melenggak-lenggok di sekitar rumah Lina yang tampak dicekam nuansa keheningan. Lampu kamar Lina dibiarkan menyala. Jam dinding yang terpasang di atas dinding kamarnya, terus bertendang tanpa mengeluarkan suara.

                Tubuh lemah yang teronggok di atas kasur itu, lamat-lamat menghembuskan deru napas dari rongga dada yang kembang-kempis. Kelopak matanya masih terpejam. Kedua belah bibir mengatup rapat. Tak ada tanda-tanda kesadaran yang muncul sampai saat ini. Lina bagaikan mayat hidup yang telah ditinggal pergi oleh sukmanya.

                Di sana, ibunya masih setia menenaminya meskipun ia ikut terlelap. Ia masih berjaga-jaga di kamar anaknya, sewaktu-waktu anaknya sadar dan butuh pertolongannya.

                Tanpa mereka sadari, kabut hitam menyembul perlahan dari dalam ransel Lina. Awalnya tipis tapi semakin lama kabut itu semakin menebal dan menggumpal hingga berbentuk seperti sosok manusia. Gumpalan kabut hitam itu mulai membentuk anggota-anggota tubuh dan rupa wajah lalu menjelma menjadi sosok perempuan berpakaian hitam dan berambut sebahu. Wajahnya dingin dan bola matanya bulat. Kelopak matanya menghitam. Ia menatapLina nanar.

                Sosok perempuan itu perlahan membuka mulutnya yang kering dan pucat itu. “Lina, Lina, bangunlah. Ini aku Shanti,” bisiknya pelan di depan ranjangnya.

                Kelopak matanya terbuka lebar. Bola matanya berputar liar, mencari sumber suara yang memanggil namanya.

                “Lina, ini aku Shanti.” Ucap sosok itu sekali lagi.

                Lina bangkit dari tidurnya. Di hadapannya sekarang, sosok itu menyaru menjadi apa yang dilihatnya—Shanti, teman sekelasnya.

                “Apa yang kau lakukan di sini, Shanti? Bukannya kau sudah mati?” ujar Lina tak percaya.

                “Mati? Apakah kau bermimpi? Kalau aku sudah mati, mana mungkin ‘kan, aku bisa datang ke sini?” sahut sosok itu dengan menyimpulkan seringai lebar.

                “Benar juga, tapi bagaimana kau bisa tiba di sini?” balas Lina. Ia belum beranjak dari ranjangnya. Setengah badannya masih dibalut dengan selimut woltebal merah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun